Jumat, 26 April 2013



KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN
Dipersiapkan sebagai Bahan Ajar dalam Perkuliahan :
Mahasiswa S1 Pendidikan Teknik Elektro (PTE) dan S1 Pendidikan Teknik Informatika (PTI)



PEMBINA:
DRS. DWI PRIHANTO., S.S.T., M.Pd


PROGRAM S1 PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
JANUARI 2012

A. PENDAHULUAN
        
                  Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan dan pengajaran  itu ialah melalui peningkatan  mutu pendidiknya. Hal ini terutama ditujukan kepada penanggung jawab dunia pendidikan, khususnya yang mengurus tentang pendidik dan tenaga kependidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan berhasil tanpa melalui jalan dan upaya peningkatan mutu pendidiknya. Tanpa guru yang dapat dijadikan andalannya, mustahil sesuatu sistem pendidikan berikut acara kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Maka prasyarat utama yang harus dipenuhi bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar yang menjamin optimalisasi hasil pembelajaran secara kurikuler ialah tersedianya guru dengan kualifikasi dan kompetensi yang mampu memenuhi tuntutan tugasnya (Fuad Hassan, Kompas, 28 Feburari 2000).

         Untuk dapat meningkatkan profesionalisme guru dengan baik, para guru dan calon guru harus memiliki empat standar kompetensi guru, yaitu: (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional.

         Kompetensi pedagogis adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan guru tentang teori belajar mengajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Kompetensi profesional adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan disiplin ilmu atau mata pelajaran yang akan diajarkan, termasuk di dalamnya penguasaan terhadap hal-hal yang terkait dengan kurikulum. Mata kuliah Kurikulum dan Pengembangan Materi Pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi salah satu bekal bagi para calon guru agar memiliki kompetensi yang memadai, khususnya kompetensi pedagagogis dan kompetensi profesional. Dengan demikian, guru yang dihasilkan dari lembaga pengembangan tenaga kependidikan (LPTK) ini adalah guru yang profesional.

         Di samping itu, para calon guru harus memiliki pemahaman yang mendalam bahwa guru mempunya posisi sentral dalam sistem pendidikan nasional. Ada tiga komponen utama dalam sistem pendidikan nasional, yaitu: (1) peserta didik; (2)          guru, dan (3) kurikulum. Dalam proses belajar mengajar, ketiga komponen tersebut mempunyai  hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Tanpa peserta didik, guru tidak akan dapat melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa guru para siswa juga tidak akan dapat secara optimal belajar. Tapa kurikulum, guru pun tidak akan mempunyai arah dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik. Dengan demikian, tanpa kehadiran salah satu komponen tersebut, proses interaksi edukatif tidak akan terjadi.

Antara kurikulum dengan pembelajaran ibarat dua sisi mata uang. Kurikulum adalah konsepnya, pembelajaran merupakan pelaksanaannya. Mata kuliah Kurikulum dan Pengembangan Materi Pembelajaran ini mencakup dua hal penting: (1) kurikulum, dan (2) pengembangan materi pembelajaran dan penerapannya dalam proses belajar mengajar di dalam kelas.

l PTI di UM masih baru lahir, oleh karena itu masih harus ditata dan dibimbing untuk mencapai kedewasaan  Salah satu upaya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar, maka produk yang berupa calon pendidik ini harus didekatkan dengan pasar kerja, yaitu: SMU,SMK, MAK, dls.
l Disamping itu Calon pendidik harus didekatkan ke Empat standar kompetensi guru, yaitu: (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi profesional.
l Kompetensi pedagogis adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan guru tentang teori belajar mengajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
l Kompetensi profesional adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan disiplin ilmu atau mata pelajaran yang akan diajarkan, termasuk penguasaan kurikulum.
l Penguasaan Kurikulum dan Penguasaan Materi Pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi para calon guru agar memiliki kompetensi yg sesuai dengan tuntutan kurikulum. Dengan harapan LPTK (PTI-TE-FT UM)  dapat menghsilkan guru yg profesional.
l Bahwa guru mempunyai posisi sentral dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini tersurat pada tiga komponen utama dalam sistem pendidikan. nasional, yaitu: (1) peserta didik; (2)    guru, dan (3) kurikulum.
l Antara kurikulum dengan pembelajaran ada 3 mata rantai yang tak terpisahkan. Kurikulum adalah konsepnya, ilmu adl sajiannya, dan pembelajaran adl pelaksanaannya.
l Matakuliah Kurikulum Pendidikan Teknik mencakup tiga hal penting: (1) mempelajari kurikulum,  (2) menguasai materi;  (3) penataan materi pembelajaran yang akan disajikan


B. KOMPETENSI
Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Kurikulum Pendidikan Teknik dan Pengembangan Materi Pembelajaran, diharapkan mahasiswa dapat memiliki kompetensi sebagai berikut:

1.    Memahami pengertian kurikulum;
2.    Memahami definisi kurikulum;
3.    Memahami komponen utama kurikulum;
4.    Memahami proses pengembangan kurikulum;
5.    Memahami macam-macam kurikulum;
6.    Memahami hubungan antara kurikulum, pengajaran, dan tujuan pendidikan;
7.    Memahami sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia;
8.    Memahami Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
9.    Memahami Modul Ajar
10.                       Memahami silabus
11.                       Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).


C. TUJUAN PEMBELAJARAN
     Tujuan Pendidikan dan Pembelajaran ”Kurikulum Pendidikan Teknik” ini adalah:
1.    Menjelaskan pengertian etimologis kurikulum;
2.    Menjelaskan tentang filosofi dan definisi kurikulum;
3.    Menjelaskan beberapa macam kurikulum;
4.    Menyebutkan komponen utama kurikulum;
5.    Menjelaskan hubungan antara kurikulum, pembelajaran, dan tujuan pendidikan;
6.    Menjelaskan proses pengembangan kurikulum dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses pengembangan kurikulum;
7.    Menjelaskan perkembangan kurikulum di Indonesia
8.    Menyebutkan dua dokumen KTSP;
9.    Menjelaskan KTSP; 
10. Menjelaskan modul ajar;
11.Menyusun Modul Ajar
12.   Menjelaskan silabus;
13.                       Menyusun silabus;
14.                       Menjelaskan RPP;
15.                       Menyusun RPP.

D. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Mata kuliah ini disampaikan kepada mahasiswa dalam 16 kali tatap
 muka dengan kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
1.    Penjelasan Umum :
Pembina matakuliah memberikan penjelasan umum tentang kurikulum Pendidikan Teknik  dan Pengembangan Materi Pembelajaran

          Tabel 1. Rincian Materi Penjelasan Umum Pembelajaran

No.
Topik/Materi pembelajaran
1
Informasi Mata Kuliah
2
Pengertian Etimologis Kurikulum
3
Filosofi dan Definisi Kurikulum
4
Komponen Kurikulum
5
Hubungan Kurikulum, Pembelajaran, dan Tujuan Pendidikan
6
Macam-macam Kurikulum
7
Proses Pengembangan Kurikulum
8
UTS (Ujian Tengah Semester)
9
Perkembangan Kurikulum Di Indonesia
10
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen I
11
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen II
12
Modul Ajar
13
Praktik Menyusun Modul Ajar
12
Silabus
13
Praktik Penyusunan Silabus
14
RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
15
Praktik Penyusunan RPP
16
UAS khususnya bagi Mhs yang tidak memenuhi target belajar

2.    Presentasi dan diskusi dari peserta kuliah
Mahasiswa mengerjakan tugas secara kelompok, dipresentasikan di depan kelas, dan didiskusikan dengan teman sekelas.
Adapun tugas-tugas yang akan dipresentasikan diambil dari uraian materi KTSP dengan pendistribusian sebagai berikut:













3.    Studi Lapangan
Mahasiswa melaksanakan kunjungan ke SMK/SMU secara berkelompok, untuk  meninjau pelaksanaan kurikulum di sekolah dan mengerjakan tugas membuat: (1) Modul Ajar; (2) Silabus; dan (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

E.    Uraian Materi Pembelajaran


1: Informasi Mata Kuliah

Dalam pertemuan ini mahasiswa akan menerima fotokopi hand out silabus mata kuliah atau modul ini sekaligus, agar secara dini mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang akan dipelajari selama satu semester. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh bahan lain untuk lebih memperkaya pengetahuan dan pemahamannya terhadap materi kuliah ini. Beberapa butir kontrak perkuliahan antara lain dapat disepakati sebagai berikut: 

a)    Setiap mahasiswa  wajib  memiliki referensi utama dan referensi lain yang relevan, melalui membeli di toko buku, pinjam di perpustakaan atau download ke internet.
b)   Pada waktu mahasiswa mengikuti kegiatan presentasi, wajib membuat/mengumpulkan  ringkasan materi yang dipresentasikan dengan tulisan tangan (maksimum 3 lembar folio);
c)    Pada waktu mahasiswa mendapat tugas presentasi di depan kelas (secara kelompok) wajib mengumpulkan print out & soft copy dari materi yang dipresentasikan. (1 Kelompok = 4 orang)
d)   Tugas mandiri ada tiga macam, yaitu: (a) menyusun bahan ajar (Modul); (b) menyusun Silabus suatu mata diklat berdasarkan KTSP SMK/SMU,  (c) menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari suatu mata diklat. Dicover sesuai kesepakatan bersama.
e)    Setiap tugas harus diserahkan kepada dosen sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama.
f)     Semua tugas Mahasiswa dimasukkan ke dalam snelhecter map, & pada akhir semester (sth dinilai) tugas dapat diambil kembali.
g)    Bagi Mahasiswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM) harus melengkapi materi yang masih kurang dan mendapat sanksi mengikuti UAS dan atau pengurangan nilai.
h)   Mencari & melaporkan tempat PKL ( 1 Kelompok PKL = 20 Orang)
i)      Mempersiapkan Buku konsultasi penyusunan tugas butir d.
j)      Persentase KHD tidak boleh kurang dari 80 %.



2: Pengertian Etimologis Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latim ”curir” yang artinya pelari, dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari”, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish. Dengan demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan.
Pengertian tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
          In The Curriculum, the first textbook published on the subject, in 1918, John Franklin Bobbitt said that curriculim, as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the curriculum as the course of deeds and experiences through which children become the adults they should be, for success in adult society. Furthermore, the curriculum encompasses the entire scope of formative deed and experience occurring in and out of school, and not experiences occurring in school; experiences that are unplanned and undirected, and experiences intentionally directed for the purposeful formation of adult members of society (www.wikipedia.com).
Secara bebas, kutipan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Di dalam The Curriculum, buku teks pertama yang diterbitkan tentang mata kuliah itu pada tahun 1918, John Franklin Bobbit mengatakan bahwa kurikulum, sebagai satu gagasan, memiliki akar kata Bahasa Latin “race course” (tempat berlari), yang menjelaskan bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran dan pengalaman yang harus diperoleh anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak sukses setelah menjadi dewasa. Lebih dari itu, kurikulum merupakan keseluruhan kegiatan dan pengalaman yang diperoleh di dalam dan di luar sekolah, pengalaman yang direncanakan dan yang tidak direncanakan, serta pengalaman yang secara sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan warga masyarakat orang dewasa.
In formal education or schooling (cf. education), a curriculum is the set of courses, course work, and content offered at a school or university. A curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative body (i.e. the National Curriculum for England in English schools). In the U.S., each state, with the individual school districts, establishes the curricula taught. Each state, however, builds its curriculum with great participation of national academic subject groups selected by the United States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for mathematical instruction. In Australia each state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International Bureau of Education has the primary mission of studying curricula and their implementation worldwide.
Curriculum means two things: (i) the range of courses from which students choose what subject matters to study, and (ii) a specific learning program. In the latter case, the curriculum collectively describes the teaching, learning, and assessment materials available for a given course of study.
Secara terminologis, istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai tanda atau bukti bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar kompetensi tersebut adalah dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada peserta didik, 
Pengertian kurikulum mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia telah mencoba untuk merumuskan perkembangan pengertian kurikulum tersebut dengan menggunakan formula-formula sebagai berikut:
a)    K           = -------------, artinya kurikulum adalah jarak yang harus ditempuh oleh pelari.
b)   K =  Σ MP, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik.
c)    K =  Σ MP + KK, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan sekolah yang harus ditempuh oleh peserta didik.
d)   K =  Σ MP + K + SS + TP, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan dan segala sesuatu  yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau sekolah.

Dari ke empat formula definisi kurikulum tersebut, dapat diambil dua butir kesimpulan bahwa (1) definisi kurikulum berasal dari dunia olah raga, dan kemudian digunakan dalam dunia pendidikan;  (2) definisi kurikulum senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, mulai dari definisi yang amat sederhana menjadi definisi yang sangat kompleks. Untuk memahami makna definisi kurikulum biasanya perlu dilakukan analisis makna unsur-unsur definisi kurikulum, sehingga dapat diketahui formula yang membentuk definisi kurikulum tersebut.

3 : Filosofi dan Definisi Kurikulum

Dewasa ini terdapat banyak sekali definisi kurikulum, yang kalau dipelajari secara mendalam ternyata dipengaruhi oleh filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama, pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”subject matter” atau mata pelajaran, ”content” atau isi, dan ”transfer of culture” atau alih kebudayaan (Said Hamid Hasan, dari Tanner dan Tanner, 1980: 104). Kedua, pakar kurikulum yang menganut aliran essesialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”academic exellence” atau keunggulan akademis dan ”cultivation of intellect” atau pengolahan intelek.

Persamaan kedua aliran tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas. Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis yang lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan bahasa-bahasa modern.

Kedua aliran tersebut termasuk kelompok aliran konservatif. Di samping itu ada kelompok aliran progresif, yang lebih memandang kurikulum --- bukan hanya untuk meneruskan tradisi intelektualitas masa lalu ---  tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perubahan masa sekarang dan masa depan, Termasuk kelompok aliran progresif adalah aliran romantis naturalisme, eksistensialisme, eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme.

Menurut aliran rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi untuk melestarikan budaya atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan di masa depan. Menurut McNeil (1977: 19), kurikulum berfungsi untuk membentuk masa depan atau "shaping the future", bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". McNeil menjelaskan bahwa:

Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.

Beberapa definisi kurikulum dapat disebutkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4: Beberapa Definisi Kurikulum

No.
Pakar
Definisi
1
John Franklin Bobbit, 1918
Curriculum, as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the curriculum as the course of deeds and experiences through which children become the adults they should be, for success in adult society.
2
Hilda Taba (1962)
Curriculum is a plan for learning.
3
Caswell and Campbell (1935)
Curriculum is all of the experiences children have under the guidance of teachers.
4
Edward A. Krug (1957)
A curriculum consists of the means used to achieve or carry out given purposes of schooling.
5
Beauchamp (1972)
A curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it a plan for the education of pupil during their enrollment in given school.
5
Saylor dan Alexander
“The total effort of school to going desired outcomes in school and out school situations”.
6
Hilda Taba
Curriculum is a plan for learning.
7
Johnson
A structural series of intended kearning outcomes.
8
J.F. Kerr (1972)
All the learning which is planned or guided by school, whether it is carried on in groups or individually, inside of or outside the school.
9
Caswell and Campbell
Curriculum is all of the experiences children have under the guidance of teacher
10
Oliva (2004)
Curriculum is a plan or program for all experiences when the learner encounters under the direction of the school.
11





Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 1 ayat 19)
Kurikulum adalah "seperangkat rencana dan  pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Sumber: Dari berbagai sumber.

Daftar definisi kurikulum tersebut dapat diperpanjang. Definisi tersebut tampak sangat bervariasi. Dari definisi yang sangat pendek seperti yang dikemukakan oleh Hilda Taba, atau pun Johnson, sampai dengan definisi yang panjang dari Beauchamp. Bahkan, George Beauchamp (1972) sendiri mencoba mengelompokkan definisi kurikulum dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mendefinisikan bahwa kurikulum adalah a plan for subsequent action. Kedua, adalah kelompok yang menyatakan bahwa kurikulum tidak lain adalah pengajara dan pembelajaran (curriculum and instruction as synonums or a unified concept). Ketiga, kelompok yang mendefiniskan sebagai istilah yang sangat luas, yang meliputi proses psikologikan peserta didik sebagai pengalaman belajar (a very broad term, encompassing the learner's psychological process as she or he acquires educational experiences).


4.: Komponen Kurikulum

Pada pertemuan sebelumnya telah dipelajari bahwa untuk memahami kurikulum kita dapat membedah definisi kurikulum ke dalam unsur-unsur kurikulum. Dengan mengetahui unsur-unsur kurikulum, kita akan jauh lebih mudah untuk mengetahui komponen-komponen kurikulum.

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga dapat menggambarkan berbagai perbedaan dalam definisi kurikulum. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981).

Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).

Dari definisi kurikulum sebagaimana telah dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa kurikulum itu terdiri dari beberapa komponen utama:

a)    Isi dan bahan pelajaran;
b)   Cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran;
c)    Tujuan pendidikan yang akan dicapai

Subandiyah dalam bukunya menyebutkan komponen utama kurikulum adalah:
a)    Tujuan pendidikan;
b)   Isi/materi;
c)    Organisasi/strategi;
d)   Media;
e)    Proses belajar mengajar;

Sedang komponen penunjangnya adalah:
a)    Sistem administrasi dan supervise;
b)   Bimbingan dan penyuluhan;
c)    Sistem evaluasi

5 : Hubungan Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan Pendidikan

Oliva (1997:12) menyatakan secara tegas bahwa "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas". Dengan kata lain, salah satu pengertian yang melekat pada kurikulum adalah kurikulum sebagai verbalisasi dari ide atau gagasan yang teramat kompleks yang ingin dicapai oleh dunia pendidikan. Definisi lain menyatakan kurikulum sebagai satu dokumen tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya gagasan tersebut memerlukan penerapan atau pelaksanaan dalam bentuk proses pengajaran dan pembelajaran. Kurikulum sebagai dokumen dan sebagai konsep tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak dilaksanakan oleh pendidik dalam proses pengajaran dan pembelajaran di dalam atau di luar kelas. Bahkan, dalam proses pelaksanaan atau penerapan kurikulum itu sendiri juga menjadi salah satu materi tersendiri dalam kurikulum itu, yang kita kenal sebagai kurikulum tersembunyi. Dalam kenyataan di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan di luar sekolah akan menjadi pengalaman belajar yang sangat mempengaruhi peserta didik. Dan oleh karena itulah maka pengalaman belajar yang diperoleh siswa di sekolah dalam proses pelaksanaan kurikulum ideal disebut sebagai kurikulum yang sebenarnya (real curriculum) atau kurikulum faktual (factual curriculum).

Jika dokumen kurikulum yang dikembangkan disebut sebagai ideal curriculum,   dan proses pengajaran dan pembelajaran di dalam dan di luar kelas sebagai factual curriculum, maka kedua-duanya tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam kurikulum ideal terdapat komponen tujuan pendidikan yang akan dicapai. Demikian juga dalam pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran terkandung tujuan instruksional yang tidak lain adalah tujuan pendidikan dalam level di dalam kelas. Walhasil, baik kurikulum dalam bentuk dokumen atau ideal maupun kurikulum faktual berupa proses pengajaran semuanya memiliki orientasi tunggal, yakni tujuan pendidikan.



6 : Macam-macam Kurikulum

Kita mengenal berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek:

Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:

a)    Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
b)   Kurikulum aktual atau faktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang pengajaran merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar mengajar.   
c)    Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas, seperti kebiasaan guru, kehadiran guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu sendiri dan sebagainya akan dapat menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh terhadap pelaksanaan kurikulum ideal di sekolah. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.

Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan:

a)    Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. Kurikulum sebelum tahun 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpisah-pisah.

b)   Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. Kurikulum 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpadu. 

c)    Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain.

Berdasarkan proses pengembangannya dan ruang lingkup penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan menjadi:

a)    Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
b)   Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat, dan digunakan oleh masing-masing negara bagian itu.

c)    Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum.

7 : Proses Pengembangan Kurikulum

Proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Unruh dan Unruh (1984)

Kurikulum memang harus dibuat. Disusun dengan proses tertentu. Negara yang memiliki UU tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai kepentingan untuk menyusun kurikulum tersebut berdasarkan amanat yang ada di dalam undang-undang tersebut.

Untuk menyusun kurikulum nasional, sudah barang tentu ada lembaga tertentu yang telah diberikan tugas dan tanggung jawab untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum yang akan digunakan secara nasional. Di Indonesia, lembaga itu dikenal sebagai Pusat Kurikulum, yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional (Balitbang Diknas). Di negara lain tentu saja ada lembaga seperti itu. Ada beberapa pemangku kepentingan yang menurut David G. Amstrong biasanya dilibatkan dalam pengembangan kurikulum, yaitu:

a)    Curriculum specialist (spesialis kurikulum, ahli kurikulum);
b)   Teacher/instructors (guru/instruktur);
c)    Learners (peserta didik);
d)   Principals/corporate unit supervisors (kepala sekolah/unit pengawas sekolah);
e)    Central office administrators/corporeate administrators (administrator kantor pusat/administrator perusahaan;
f)     Special experts (ahli special);
g)    Lay public representatives (perwakilan masyarakat umum).

Yang dimaksud pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan  agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.

Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve.

Berbagai faktor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum fokus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.

Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya.
Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.

Keseluruhan proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai berikut:


Gambar 1. Konfigurasi Proses Pengembangan Kurikulum (Model 1)
(Sumber: Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA)

Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:

The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.

Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.

Gambar 2. Konfigurasi Proses Pengembangan Kurikulum (Model 2)
Sumber: Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA

8 : Perkembangan Kurikulum di Indonesia

Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya. Kurikulum yang pernah diberlakukan secara nasional di Indonesia dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 5 : Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia

No.
Kurikulum
Keterangan
1
Rencana Pelajaran 1947
·     Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr. Suwandi, membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran.
·     Merupakan kurikulum pertama di Indonesia. Rencana Pelajaran yang disusun harus memperhatikan; (1) mengurangi pendidikan pikiran, (2) menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, (3) memberikan perhatian kepada kesenian, (4) meningkatkan pendidikan watak, (5) meningkatkan pendidikan jasmani, dan (6) meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
·     Istilah kurikulum belum digunakan. Istilah yang digunakan adalah Rencana Pelajaran. Unsur pokok kurikulum adalah: (1) daftar jam pelajaran atau struktur program, (2) garis-garis besar program pengajaran.
·     Struktur program dibagi menjadi: (1) struktur program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Daerah, (2) struktur program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia.
·     Merupakan kurikulum dengan mata pelajaran terpisah-pisah (separated curriculum).
2
Rencana Pelajaran 1950
·     Lahir karena tunturan UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
·     Kurikulum ini masih relatif sama dengan Rencana Pelajaran 1947
·     Istilah kurikulum masih belum digunakan. Istilah yang dipakai adalah Rencana Pelajaran.
·     Kurikulum ini merupakan kurikulum masih dengan mata pelajaran terpisah-pisah (separated curriculum).
3
Rencana Pelajaran 1958
·     Merupakan penyempurnaan dari Rencana Pelajaran 1950.
·     Digunakan sampai dengan tahun 1964
4
Rencana Pelajaran 1964
·     Merupakan penyempurnaan dari Rencana Pelajaran 1958
·     Digunakan sampai dengan tahun 1968.
·     Terdapat pembagian kelompok cipta, rasa, karsa, dan krida.
5
Kurikulum 1968
·     Kurikulum ini merupakan kurikulum terpadu pertama di Indonesia. Beberapa mata pelajaran Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPA) atau yang sekarang sering disebut Sains.
·     Struktur program dibagi menjadi (1) pembinaan jiwa Pancasila, (2) pengetahuan dasar, dan (3) kecakapan khusus.
·     Struktur program untuk Sekolah Dasar, program pembinaan jiwa Pancasila meliputi mata pelajaran (1) Pendidikan Agama, (2) Pendidikan Kewargaan Negara, (3) Pendidikan Bahasa Indonesia, (4) Bahasa Daerah, dan (5) Pendidikan Olahraga.
·     Untuk program pengetahuan dasar meliputi mata pelajaran  (1) Berhitung, (2) IPA, (3) Pendidikan Kesenian, dan (4) Pendidikan Kesejahteraan Keluarga.
·     Untuk program kecakapan khusus meliputi mata pelajaran Pendidikan Khusus.
·     Untuk pertama kalinya istilah kurikulum dipakai di Indonesia.
6
Kurikulum 1975
·     Lahir sebagai tuntutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN 1973, dengan tujuan pendidikan ”membentuk manusia Indonesia untuk pembangunan nasional di berbagai bidang.
·     Struktur program untuk SD meliputi bidang studi (1) Agama, (2) Pendidikan Moral Pancasila, (3) Bahasa Indonesia, (4) Ilmu Pengetahuan Sosial, (5) Matematika, (6) Ilmu Pengetahuan Alam, (7) Olahraga dan Kesehatan, (8) Kesenian, dan (9) Keterampilan Khusus.
·     Untuk SMP ditambah dengan bidang studi Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Keterampilan, baik yang pilihan terikat atau pilihan bebas.
·     Untuk SMA sudah barang tentu ada bidang studi berdasarkan jurusan, baik IPA dan IPS.
·     Untuk SMK dikenal dengan Kurikulum 1976.
·     GBPP untuk kurikulum 1975 dikenal dengan format yang sangat rinci.
7
Kurikulum 1984
·     Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Oleh karena itu Kurikulum 1984 dikenal juga sebagai Kurikulum 1975 Yang Disempurnakan.
·     Kurikulum 1984 berlaku berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tanggal 22 Oktober 1983 tentang Perbaikan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
·     Ada empat aspek yang disempurnakan dalam Kurikulum 1984, yakni: (1) pelaksanaan PSPB, (2) penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum, (3) pemilihan kemampuan dasar serta keterpaduan dan keserasian antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, (4) pelaksanaan pelajaran berdasarkan kerundatan belajar yang disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing peserta didik.
8
Kurikulum 1994
·     Kurikulum 1994 merupakan pelaksanaan amanat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
·     Kurikulum 1994 dilaksanakan berdasarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993.
·     Kurikulum 1994 berisi 3 lampiran: (1) Landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum, (2) GBPP, dan (3) Pedoman Pelakskanaan Kurikulum.
9
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
·     Kurikulum ini belum diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia.
·     Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas bersama dengan Direktorat Teknis telah melakukan uji coba dalam rangka proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi ini.
·     Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mempunyai kewenangan untuk mengembangkan standar nasional pendidikan, termasuk standar kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah.
10
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
·     KBK sering disebut sebagai jiwa KTSP, karena KTSP sesungguhnya telah mengadopsi KBK.
·     Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
·     Kurikulum ini disusun oleh satuan pendidikan sekolah/madrasah bersama dengan semua pemangku kepentingan di sekolah.
         
          Sumber: Lima Puluh Tahun Pendidikan Indonesia.


9. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen I

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada standar isi (SI) dan standar kelulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa:

a.    Sekolah/Madrasah menyusun KTSP.
b.   Penyusunan KTSP memperhatikan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, dan peraturan pelaksanaannya.
c.    KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah, potensi atau karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
d.   Kepala Sekolah/Madrasah bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
e.    Wakil Kepala SMP/MTs dan wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum bertanggungjawab atas pelaksanaan penyusunan KTSP.
f.     Setiap guru bertanggungjawab menyusun silabus setiap mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan Panduan Penyusunan KTSP.
g.   Dalam penyusunan silabus, guru dapat bekerjasama dengan Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), atau Perguruan Tinggi.
h.   Penyusunan KTSP tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan SDLB, SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang bertanggungjawab di bidang pendidikan. Khusus untuk penyusunan KTSP Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan untuk SDLB, SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama.
i.     Penyusunan KTSP tingkat MI dan MTs dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan MA dan MAK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.

9.1 Apa yang dimaksud kurikulum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional? Apa yang dimaksud KTSP ?

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian  dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Sedang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional  yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.

9.2 Bagaimana Konsep Dasar KTSP?

Konsep dasar KTSP meliputi 3 (tiga) aspek yang saling terkait, yaitu (a) kegiatan pembelajaran, (b) penilaian, dan (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Kegiatan pembelajaran dalam KTSP mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a.     Berpusat pada peserta didik
b.    Mengembangkan kreativitas
c.     Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang
d.    Kontekstual
e.     Menyediakan pengalaman belajar yang beragam
f.      Belajar melalui berbuat   

9.3. Penilaian dalam KTSP mempunyai karakteristik

a.     Dilakukan oleh  guru untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi yang ditetapkan, bersifat internal, bagian dari pembelajaran, dan sebagai bahan untuk peningkatan mutu hasil belajar;
b.    Berorientasi pada kompetensi, mengacu pada patokan, ketuntasan belajar, dilakukan melalui berbagai cara, yaitu (a) portfolios (kumpulan kerja siswa), (b) products (hasil karya), (c) projects (penugasan), (d) performances (unjuk kerja), dan (e) paper & pen test (tes tulis).

9.4 Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah

Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah mempunyai prinsip-prinsip:

a.     Mengacu pada Visi dan Misi Sekolah
b.    Pengembangan perangkat kurikulum  (a.l. silabus)
c.     Pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lainnya untuk meningkatkan mutu hasil belajar
d.    Pemantauan dan
9.5 Apa Landasan  KTSP ?

1.         UU Nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.         PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3.         Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
4.         Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
5.         Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 dan Nomor 6 Tahun 2007 tentang pelaksanaan Permendiknas  Nomor 22 dan 23/2006
6.         Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan

9.6 Bagaimana Prinsip Pengembangan KTSP?

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu kepada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan sistem pendidikan nasional memiliki 8 (delapan) standar, yang meliputi (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan  (8) standar penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum untuk satuan pendidikannya.


 

















9.7 Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(a) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
      
       Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.

(b) Beragam dan Terpadu

       Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.

(c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

       Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

(d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan

       Pengembangan kurikulum dilakukan dengan   melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan  kemasyarakatan, dunia usaha dan  dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi,  keterampilan  berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

(e) Menyeluruh dan berkesinambungan

       Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi,   bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.

(f) Belajar sepanjang hayat
      
       Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal  dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

(g) Seimbang antara kepentingan Nasional dan kepentingan Daerah

       Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

9.8  Acuan Operasional Penyusunan KTSP

a)  Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
b) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
c)  Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
d) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
e)  Tuntutan dunia kerja
f)   Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
g) Agama
h) Dinamika perkembangan global
i)   Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
j)   Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
k) Kesetaraan gender
l)   Karakteristik satuan pendidikan


9.9  Dokumen I : KTSP

Dokumen I KTSP terdiri atas 4 bab, meliputi:

1.         Bab I Pendahuluan, meliputi subbab (A) Latar Belakang, (B) Tujuan, dan (C) Prinsip Pengembangan KTSP.
2.         Bab II Tujuan Pendidikan, meliputi subbab (A) Visi, (B) Misi, (C) Tujuan Sekolah.
3.         Bab III Struktur dan Muatan Kurikulum, meliputi (A) mata pelajaran, (B) muatan lokal, (C) kegiatan pengembangan diri, (D) pengaturan beban belajar, (E) ketuntasan belajar, (F) kenaikan kelas dan kelulusan, (G) pendidikan kecakapan hidup, dan (H) pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.

Mata pelajaran muatan nasional, alokasi jam pelajaran, dan pengelompokan mata pelajaran serta aturan pengelolaan jam pelajaran  mengacu pada Bab II Standar Isi. Muatan Lokal merupakan mata pelajaran yang dikembangkan untuk mengakomodasi kepentingan daerah atau satuan pendidikan. Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang akan dicapai dilakukan oleh satuan pendididkan dan/atau Dinas Pendidikan yang terkait.

Kegiatan pengembangan diri merupakan kegiatan yang mewadahi bakat dan minat peserta didik. Tujuan kegiatan pengembangan diri  adalah mengembangkan  potensi peserta didik, terutama pada perubahan perilaku sesuai dengan target yang dicanangkan oleh satuan pendidikan.

Pengaturan beban belajar mengacu pada bab III Standar Isi. Beban belajar dalam bentuk tatap muka dirancang bersama oleh satuan pendidikan. Rancangan beban belajar dalam bentuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dirancang oleh guru mata pelajaran.

Ketuntasan belajar adalah target minimal yang akan dicapai oleh satuan pendidikan. Kriteria Ketuntasan minimal (KKM) merupakan hasil analisis atas kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa terhadap kompetensi dasar, standar kompetensi, dan mata pelajaran yang dibelajarkan. Agar hasil belajar peserta didik dapat mencapai, bahkan melebihi  KKM, satuan pendidikan merancang program remedial dan pengayaan.

Kriteria kenaikan kelas dan kelulusan dikembangkan oleh satuan pendidikan. Acuan minimal kriteria kenaikan kelas adalah Peraturan Dirjen tentang Laporan Hasil Belajar dan POS UN tahun sebelumnya.

Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan kecakapan yang diperlukan agar seseorang mampu  dan berani menghadapi problema kehidupan dan memecahkannya secara arif dan kreatif. Kecakapan hidup yang perlu dikembangkan adalah kecakapan personal, sosial, dan akademik. Kecakapan vokasional terakomodasi dalam mata pelajaran muatan lokal.

Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan meningkatkan daya saing global. Keunggulan lokal dapat dikembangkan dalam muatan lokal, pengembangan diri, maupun terintegrasi dalam mata pelajaran.

4.   Bab IV Kalender pendidikan berisi rancangan kalender sekolah yang mengacu pada kalender dinas pendidikan terkait dan pedoman penyusunan kalender yang terdapat dalam bab IV standar isi.

10 : KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen II

KTSP terdiri atas dua dokumen, yaitu (1) dokumen I yang berisi tentang (a) landasan, (b) program, dan (c) pengembangan kurikulum. Dokumen I (pertama) disusun oleh tim handal yang dibentuk oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tersebut adalah (1) kepala sekolah, (2) guru, (3) tenaga administrasi, (4) pengawas sekolah, dan (5) komite sekolah dan orangtua siswa, serta (6) dinas pendidikan.

Dokumen II (kedua) merupakan penjabaran secara operasional dari dokumen pertama, terdiri atas (a) silabus dan (b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Dokumen Dokumen II disusun oleh guru kelas dan guru mata pelajaran, atau kelompok kerja guru kelas atau guru mata pelajaran dalam kegiatan organisasi profesi seperti Kelompok Kerja Guru (untuk guru sekolah dasar), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau bahkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

11:  Silabus
11.1 Apakah itu silabus?

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar     
Silabus menjawab tiga pertanyaan dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu apa kompetensi yang harus dikuasai siswa, bagaimana cara mencapainya, dan bagaimana cara mengetahui pencapaiannya.

            Bagaimana prinsip pengembangan Silabus?
Prinsip pengembangan silabus dilaksanakan secara:
a)      Ilmiah, artinya materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggung-jawabkan secara keilmuan.
b)     Relevan, arttinya cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urytan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan emosional, intelektual dan spiritual.
c)      Sistematis, artinya komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
d)     Konsisten, artinya adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas)  antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian.
e)      Memadai, artinya cakupan indikator, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.
f)          Aktual & konstektual, artinya  cakupan indikator, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata.  
g)      Fleksibel, artinya keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah, dan tuntutan masyarakat,
h)     Menyeluruh. Artinya komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, dan psikomotor)

             Siapa yang menyusun silabus?

Silabus disusun oleh guru yang mengajarkan mata pelajaran. Proses penyusunan silabus dapat saja disusun bersama oleh satu tim guru mata pelajaran, dalam satu kegiatan guru, misalnya dalam kegiatan MGMP.

11.4 Apa landasan penyusunan silabus?
Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 17 Ayat (2), Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI. MTs, MA, dan MAK.

11.5  Bagaimana pertimbangan unit waktu dalam penyusunan silabus?
        Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester, per tahun, dan alokasi waktu mata diklat lain yang sekelompok.

11.6  Apa saja komponen di dalam silabus?
        Komponen di dalam silabus meliputi: (a) standar kompetensi; (b) kom petensi dasar; (c) materi pokok/pembelajaran; (d) kegiatan pembelajaran; (e) indikator; (f) penilaian; (g) alokasi waktu; (h) sumber belajar.


12. Praktik Penyusunan Silabus

Contoh format silabus dapat dijelaskan sebagai berikut:


FORMAT SILABUS

Nama Sekolah
:

Mata Pelajaran
:

Standar Kompetensi
:


Kompetensi Dasar
Materi Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran
Indikator
Penilaian
Alokasi Waktu
Sumber Belajar
Teknik
Instrumen
Contoh
1
2
3
4
5
6
7
8
9










Indentitas:

Nama Sekolah: diisi dengan nama sekolah, seperti SMP Negeri 1 Malang
Mata Pelajaran: diisi dengan mata pelajaran yang diajarkan, sepert Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dsb.
Standar Kompetensi: diisi dengan standar kompetensi yang diambil dari standar isi yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 22  sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.

Kolom-kolom format silabus:

1.         Kompetensi Dasar: diisi dengan kompetensi dasar yang dikutip dari standar isi;
2.         Materi Pembelajaran: diisi dengan materi pembelajaran yang dijabarkan dari kompetensi dasar tersebut;
3.         Kegiatan Pembelajaran: diisi dengan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan agar proses pembelajaran tersebut dapat mencapai kompetensi dasar yang diharapkan;
4.         Indikator: diisi dengan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah kompetensi dasar telah dapat dicapai atau belum;
5.         Teknik Penilaian: diisi dengan teknik penilaian yang digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar berdasarkan indikator, misalnya tes tertulis, tes lisan, dsb;
6.         Instrumen Penilaian: diisi dengan bentuk instrumen yang digunakan;
7.         Alokasi Waktu: diisi dengan berapa kali pertemuan X menit yang diperlukan;
8.         Sumber Belajar: diisi sumber belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran, seperti buku apa, media belajar, sumber belajar dari alam, dsb.  
Contoh Silabus
SILABUS

Nama Sekolah
:
SMP Negeri 1 .......
Mata Pelajaran
:
Bahasa Inggris
Standar Kompetensi
:
Menggunakan makna dalam percakapan transksional dan interpersonal lisan pendek sederhanauntuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Kompetensi
Materi Pembelajaran
Kegiatan
Indikator
Penilaian
Alokasi
Sumber


Pembelajaran

Teknik
Instrumen
Contoh
Waktu
Belajar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mengungkan makna dalam percakapakan transaksional (to get things done) dan intepersonal (bersosialisasi) sederhana dengan menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar, dan bertetima untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang melibatkan tindak tutur meminta, memberi, menolak barang, mengakui, mengingatkan fakta, menerima, dan memberi pendapat.
Percakapan singkat memuat ungkapan-ungkapan sebagai contoh:

A: Let me help you
B: Thank you so much

A: Can I have a bit
B: Sure. Here you are

A: Did you break the glass?
B: Yes I did/ No, It wasn’t me

A: What do you think of this?
B: Not bed.
1.  Review kosakata dan ungkapan terkait materi dan tema
2.  Tanya jawab menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut
3.  Bermain peran melakukan percakapan yang disediakan guru
4.  Bermain peran melakukan percakapan berdasarlan situasi  atau gambar
5.  Menggunakan ungkapan yang telah dipelajari dalam real life situation.
1.  Bertanya dan menjawab tentang meminta, memberi, menolak rasa
2.  Bertanya dan menjawab tentang meminta, memberi, menolak barang
3.  Bertanya dan menjawab tentang mengakui, mengingkari fakta
4.  Bertanya dan memberi pendapat
Tes lisan
Bermain peran
Create a dialogue based on the role cards and perform it in front of the class
2 X 40’
1.                 Buku teks yang relevan
2.                 Gambar-gamar yang terkait tema
3.                 Realita benda sekitar




13 :  RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
    
Setiap kali guru akan mengajar, ia harus menyusun sebuah rencana yang kini dikenal dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana ini akan menggambarkan prosedur dan langkah-langkah pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar berdasarkan standar isi dan telah ditetapkan dalam silabus.

Mengapa harus membuat rencana? Apakah rencana itu harus dibuat oleh guru yang belum berpengalaman saja? Apakah guru yang sudah senior atau sudah berpengalaman masih perlu membuat rencana mengajar? Bukankah guru senior atau yang sudah berpengalaman telah menguasai semua materi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswanya? Apakah RPP yang telah dibuat masih dapat digunakan dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan? Apakah secara administratif penyusunan RPP tidak justru memberatkan tugas-tugas guru di lapangan, yang kemudian justru akan mengganggu proses pembelajarannya sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul dalam acara diskusi dengan para guru pada saat membahas tentang rencana mengajar. Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut. Pertama, setiap guru akan melaksanakan pembelajaran, ia harus menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), baik untuk guru senior atau terlebih-lebih untuk guru yunior.  Kedua, penyusunan RPP sama sekali tidak untuk memberatkan pekerjaan guru, justru untuk memudahkan guru dalam pelaksanaan tugas profesionalnya. Penyusunan RPP merupakan salah satu unsur dari standar kompetensi professional bagi para guru. Ketiga, sudah barang tentu, RPP yang lama dapat saja digunakan lagi dalam proses pembelajaran pada tahun berikutnya, sepanjang RPP tersebut masih relevan dengan kompetensi siswa yang akan dicapai. Oleh karena itu, RPP yang pernah dibuat harus dikaji ulang untuk terus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan baru dalam dunia pendidikan.

Ruang lingkup RPP mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas 1 (satu) atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali  pertemuan atau lebih. Perencanaan merupakan langkah yang sangat penting sebelum pelaksanaan kegiatan. Kegiatan belajar mengajar (KBM) membutuhkan perencanaan yang matang agar proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif. Perencanaan tersebut dituangkan ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau beberapa istilah lain yang digunakan, seperti rencana mengajar atau lesson plan, desain pembelajaran, skenario pembelajaran, yang memuat seluruh kompetensi dasar yang dijabarkan dari standar kompetensi, materi pelajaran, dan indikator yang akan dicapai, langkah pembelajaran, waktu, media dan sumber belajar serta penilaian untuk setiap kompetensi dasar.

Rencana pelaksanaan pembelajaran harus dibuat agar kegiatan pembelajaran berjalan sistematis dan mencapai tujuan pembelajaran, tanpa rencana pelaksanaan pembelajaran kegiatan pembelajaran di kelas biasanya tidak terarah. Oleh karena itu peserta harus mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran berdasarkan silabus yang disusunnya. Rencana pelaksanaan pembelajaran harus mencerminkan pendekatan PAKEM dalam pembelajaran.

Dengan demikian, jika silabus merupakan program pembelajaran dalam jangka satu semester atau satu tahun pelajaran, maka RPP merupakan pencabaran dari silabus sebagai program pembelajaran untuk hari ke hari pembelajaran di sekolah, dalam satu atau beberapa kali pertemuan pembelajaran.
         
14 : Praktik Penyusunan RPP

Pada umumnya format RPP adalah sebagai berikut:


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Mata Pelajaran                                                                                                             : …
Kelas/Semester                                                                                                            : …
Pertemuan Ke-                                                                                                 : …
Alokasi Waktu                                                                                                 : …
Standar Kompetensi                                                                 : …
Kompetensi Dasar                                                                               : …
Indikator                                                                                                                                                          : …

I.      Tujuan Pembelajaran                   : …     
II.     Materi Pembelajaran                    : …                 
III.    Metode Pembelajaran                  : ....
IV    Langkah-langkah                                                 :                                      

Pertemuan pertama
1.        Kegiatan Awal
2.        Kegiatan Inti
3.        Kegiatan Akhir

        Pertemuan kedua, dst.
 
 





















                  


Untuk praktik penyusunan RPP, cobalah mengikuti cara pengisian format RPP sebagai berikut:
1.    Untuk mengisi identitas RPP, mulai dari mata pelajaran sampai dengan kompetensi dasar, isilah dengan mengacu pada standar isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 harus dijadikan acuannya.
2.    Untuk indikator, tujuan pembelajaran, dan seterusnya tentu saja harus dikembangkan dari standar isi tersebut. Masing-masing gurulah yang harus mengembangkannya.
a.           Indikator adalah patokan dasar atau tanda-tanda utama yang akan dijaikan  bukti bahwa peserta didik telah mencapai kompetensi dasar yang telah ditetapkan.
b.  Tujuan pembelajaran adalah tujuan instruksional yang akan dicapai melalui kegiatan belajar dalam satu pertemuan tertentu.
c.   Metode mengajar diharapkan metode yang menggunakan pendekatan PAKEM untuk Sekolah Dasar, dan pendekatan Contextual Teaching dan Learning (CTL) untuk SMP dan SMA.
d.  Langkah pembelajaran meiputi: (1) kegiatan awal, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan penutup.

15 Referensi


Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. 1994. Kurikulum Untuk Abad Ke-21. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
McNeil, John. 1985. Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Oemar Hamalik. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Rochman Natawidjaja (Ed). 1979. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Alat Peraga, dan Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Ke Implentasi. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.



16. LAMPIRAN - LAMPIRAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 






LAMPIRAN: 1

KURIKULUM DAN TUJUAN PENDIDIKAN

Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA

PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.

Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya.
Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.

Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.

Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para ahli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.

Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.

PENGERTIAN KURIKULUM
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.

Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar.
Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".

Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
  • filosofi kurikulum
  • ruang lingkup komponen kurikulum
  • polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
  • posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan "transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok ahli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism "the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).

Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.

Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.

Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".

Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:

Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process.

Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka.

Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.

Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)

Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.

Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):

Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.

Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.

Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.


POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.

Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.

Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.

Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.

Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.

Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.    peningkatan iman dan takwa;
b.    peningkatan akhlak mulia;
c.     peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d.    keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e.     tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f.       tuntutan dunia kerja;
g.    perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h.    agama;
i.       dinamika perkembangan global; dan
j.       persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.

Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.

Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.

Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa.
Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.

Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.

Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.

Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM

Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.

Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya.
Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.

Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:



Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:

The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.

Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.


DAFTAR BACAAN

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.
Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London: Teachers College, Columbia University
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum. London: Routledge & Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51-98.
Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.
Jacobs, M. (1999). Curriculum, dalam Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further Education.
Klein, M.F. (1986). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University
Marsh,C.C. (1997). Planning, Management and Ideology: Key Concepts or Undertanding Curriculum. London: The Falmer Press
McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.
Olivia, P.F. (1997).. 4th Developing the Curriculum edition. New York: Longman
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan
Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation


























LAMPIRAN: 2.  Artikel Pendidikan


MEMBERANTAS KORUPSI MELALUI KURIKULUM
Oleh icwweb
Minggu, 17 September 2006 12:28:40

Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Murid atau mahasiswa yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang sejak dini harus diajar dan dididik untuk membenci serta menjauhi praktek korupsi. Bahkan lebih dari itu, diharapkan dapat turut aktif memeranginya.

Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda Aceh.

Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.

Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.

Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.

Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah.
Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.

Selain itu, kurikulum tidak akan ada artinya tanpa guru. Sudah tentu, agar bisa diimplementasikan, terlebih dulu mereka yang akan mengajarkan pelajaran antikorupsi mesti mengetahui dan memahami apa yang akan diajarkan. Untuk itu, setidaknya dibutuhkan pendidikan atau pelatihan. Belajar dari penerapan kurikulum berbasis kompetensi, hanya untuk sosialisasi, waktu dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.

Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai tersebut.

Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek (psikomotor), akan menemukan kesulitan dalam proses evaluasi. Alat atau instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan murid dalam menerapkan nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan berbeda dari tes pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.

Selain itu, proses pengajaran antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional: guru memberi ceramah di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang kelas harus dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti menjadi model bagi murid.

Namun sayang, kenyataannya tidak demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu tempat tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar belakang penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut menjadi pelaku.

Institusi pendidikan malah mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis, setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat oleh murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam keseharian guru atau kepala sekolah.

Karena itu, kurikulum antikorupsi tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan seperti sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi. Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.

Berharap banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah.

Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.

Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.

Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2006









































Lampiran 3

APA YANG DIPELAJARI ANAK DI SEKOLAH?
Oleh Anis Suryani -
Artikel, 1- Desember 2004


Cica mencuci cangkir dan piring
“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.

Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca . Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan seperti berikut:

Wajib Belajar

Desa kelahiran orang tua Indri tergolong tandus. Penduduk hanya panen setahun sekali. Itu pun kalau ada air hujan. Hasil pertanian penduduk umumnya singkong dan ubi jalar. Keadaan seperti itu bukan menandakan penduduknya miskin. Justru penduduknya tergolong makmur. Banyak hal yang dapat mereka kerjakan. Kaum ibu membentuk Home Industry atau Industri Rumah Tangga Jika kita masuk ke toko suvenir, hampir semua suvenir di sana adalah karya ibu-ibu. Begitu pula kalau kita berbelanja kue-kue tradisional. Semua itu hasil dari desa kelahiran ibunya Indri. Bagaimana dengan aktivitas bapak-bapak dan para remaja? Di sana tidak kita jumpai penduduk yang duduk di pojok gang atau di warung kopi. Konon sebagian besar remaja bekerja di kota lain. Mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah dan menyekolahkan adik-adik mereka. Jika ada anak usia sekolah berkeliaran pada waktu tersebut, setiap orang wajib menegur. Jika ternyata orang tua atau kakaknya yang menyuruh, pasti mendapat sanksi.

Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks, diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur, bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks seperti tersebut di atas.

Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah…?” , tentulah timbul pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?

Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks, alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.

Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel, membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas tiga.

Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah tersebut.

Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal 134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.

Anak-anak mulai mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).

Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.

Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep “bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya. “Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku pelajaran.

Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.

Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.

Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).

Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum, 1997). Ini menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.

Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.

Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan sebagai “a plan for learning”, sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.

Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah. Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat, baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak.

Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.

Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama, kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang bersifat dinamis belum terbentuk.

Pustaka

Arsyar, Mohammad (1989). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Ditjen PT Departemen P&K.
Kompas (2003). Kemahiran Baca di Indonesia Menyedihkan. (2 Juli 2003)
Mulder, Niels (2001). Indonesian Images. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, S (1986). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
Hilum, Rium (1997). Pengaruh Kemampuan Memecahkan Masalah-masalah cerita dalam aljabar terhadap prestasi siswa. Skripsi S1 FMIPA IKIP Yogyakarta.
Supriadi, Dedi (2001). Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita
Shaver, James P ed. (1991). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: National Council for the Social Studies.










































Lampiran 4.

BERBAGAI PENDEKATAN  DALAM KURIKULUM  SMK 

Penyunting: Dwi Prihanto

Memasuki abad 21 ini, keadaan SDM Indonesia  sangat tidak kompetitif.  Menurut catatan Human Development Index kualitas SDM Indonesia berada di urutan 122, jauh berada dibawah, Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Korea Selatan (30) dan Singapura (28). Demikian pula berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Dari dalam negeri diketahui bahwa NEM SD sampai SLTA relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Dari dunia usaha juga muncul  keluhan  bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan yang baik. Ketidak puasan berjenjang juga  terjadi, kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa bekal lulusan SLTP tidak siap mengikuti pembelajaran di SLTA,  dan kalangan perguruan tinggi merasa bekal lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan. 
              Sampai dengan berakhirnya abad ke-20 pembangunan sumberdaya manusia di hampir seluruh wilayah Indonesia, ternyata belum mengarah kepada kondisi yang diharapkan. Hal ini ditandai dengan; (1) struktur tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja yang kurang terdidik, sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi; (2)  penyiapan tenaga kerja tingkat menengah terkesan hanya dilakukan oleh SMK, sementara sebagian besar tamatan SMU dan yang sederajat banyak tidak melanjutkan pendidikan dan masuk ke pasar kerja; (3) tingkat pengangguran tamatan  sekolah menengah menunjukkan angka 12% untuk tamatan SMK, ditambah lagi dengan tingkat pengangguran tamatan SMU sebanyak 18% (Depdikkinas, 2001); (4) penguasaan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Semua ini menyebabkan tenaga kerja Indonesia sulit bersaing, bahkan tidak sedikit peluang pekerjaan yang ada di Indonesia di isi oleh pekerja asing.
             Kondisi yang demikian  tentu merupakan akibat langsung tidak sistematisnya pelaksanan  pendidikan Indonesia, sehingga  belum mampu meningkatkan kualitas SDM.  Berbagai usaha telah dilakukan Depdiknas untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional, baik melalui pengembangan kurikulum,  penyediaan sarana prasana, peningkatan kualitas SDM, peningkatan manajemen pendidikan dan peningkatan kualitas pembelajaran. 
             Seperti halnya  program-program lain yang dihasilkan  oleh proyek, masalah keberlanjutan  masih saja menjadi isu yang sukar dihindari. Perbaikan yang dihasilkan umumnya bersifat sementara, tidak berlanjut menjadi  kebiasaan baru yang menyegarkan. Demikian  pula halnya dengan pendidikan di SMK, walaupun konsep-konsep pendidikan /pembelajaran yang inovatif dan ideal telah dicoba diterapkan,  namun dalam banyak hal mutu pendidikan SMK masih jauh dari harapan. 

PERKEMBANGAN FAKTOR  EKSTERNAL
          Pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan sebagai pranata utama peningkatan SDM berkualitas menjadi sangat penting, karena berbagai pengaruh factor eksternal. Pada dasarnya ada dua jenis factor ekternal yang mempengaruhi pendidikkan kejuruan adalah berkaitan dengan dua hal yang harus berjalan seiring dan saling melengkapi, yaitu kebijakan tentang otonomi daerah dan tuntutan dan permasalah global. Kedua factor tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem penataan lembaga pendidikan kejuruan, dan factor tersebut harus dijadikan pijakan dasar dalam pengembangan pendidikan  SMK.

Kebijakan Tentang Otonomi Daerah.
Pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan sebagai pranata utama peningkatan SDM berkualitas menjadi sangat penting, karena berbagai pengaruh factor eksternal. Pada dasarnya ada dua jenis factor ekternal yang mempengaruhi pendidikkan kejuruan adalah berkaitan dengan dua hal yang harus berjalan seiring dan saling melengkapi, yaitu kebijakan tentang otonomi daerah dan tuntutan dan permasalah global. Kedua factor tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem penataan lembaga pendidikan kejuruan, dan factor tersebut harus dijadikan pijakan dasar dalam pengembangan pendidikan  SMK.

Tuntutan dan Permasalahan Era Global.
          Persaingan global antara negara di dunia khususnya dibidang industrialisasi dan teknologi informasi menjadi semakin ketat dan tajam,  akan membawa perubahan yang sangat cepat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini di satu sisi membuka peluang mempercepat laju pembangunan, tetapi di sisi lain membawa tantangan terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Lahirnya "Multinational Company" juga menjadikan persaingan bisnis berskala regional, international, maupun global semakin meningkat. Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik, suatu kawasan yang telah melahirkan beberapa negara industri baru. Di satu sisi Indonesia dapat menarik keuntungan dari kemajuan industri di kawasan ini, tetapi di lain sisi dapat tergilas menjadi korban kemajuan negara tetangga. Jika tidak mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat dan tajam.
          Untuk mengantisipasi tuntutan dan permasalahan tersebut di atas, maka upaya-upaya pembangunan harus memberi prioritas pada upaya peningkatan kualitas SDM. Diperlukan kemauan yang keras untuk mengubah pola pikir dalam mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan melalui reposisi (penataan ulang) agar dapat mengejar ketertinggalan dalam penyiapan SDM berkualitas.  Mengingat hal tersebut, maka mulai tahun ajaran 2005/2006 ini, untuk meningkatkan kualitas pendidikan di SMK diterapkan berbagai pendekatan dalam kurikulum SMK 2004 (Depdiknas, 2004). .

PENDEKATAN KURIKULUM SMK        
             SMK sebagai salah satu institusi yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan tamatan sebagaimana yang diharapkan dunia kerja.   SMK memiliki peran untuk menyiapkan peserta diklat agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada. Oleh karena itu, arah pengembangan SMK diorientasikan pada pemenuhan permintaan pasar kerja. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan tuntutan dunia kerja terhadap sumber daya manusia yang dibutuhkan. Dunia kerja membutuhkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas yaitu yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya, memiliki daya adaptasi dan daya saing yang tinggi.
          Atas dasar itu, pengembangan kurikulum dalam rangka penyempurnaan pendidikan menengah kejuruan harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja. Oleh karena itu Kurikulum SMK Edisi 2004 dirancang, dengan menggunakan berbagai pendekatan  yaitu (l) Pendekatan Akademik, (2) Pendekatan Kecakapan Hidup/Life skills (LS), (3) Pendekatan Kompetensi/Competency-based (CBC), (4) Pendekatan Luas dan Mendasar/Broad-based (BBC). Dengan pendekatan-pendekatan  tersebut, diharapkan kurikulum yang diterapkan di SMK mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

             Kurikulum adalah sebuah perangkat pendidikan, dengan demikian secara sadar harus dirancang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Kaidah-kaidah akademik yang harus diikuti dalam penyusunan kurikulum antara lain adalah sebagai berikut: (l) Kurikulum berisikan rancangan pendidikan dan pelatihan secara menyeluruh. (2) Kurikulum harus mengandung komponen tujuan, isi atau materi dan evaluasi yang dirancang sedemikian rupa menjadi satu kesatuan yang utuh, (3) Tujuan kurikulum secara jelas menunjukan tujuan pendidikan (instructional effect), tujuan sampingan (non-instructional effect) dan memperhitungkan dampak pengiring (nurturant effect) bagi peserta didik.

Pendekatan Kecakapan Hidup (Life skills)
             Isu yang mengemuka dewasa ini yakni adanya kesenjangan antara sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Apa yang dipelajari di sekolah, merupakan hal lain yang terjadi di masyarakat, sehingga disinyalir sekolah semakin menjauhkan peserta diklat dengan dunia nyatanya dimana ia tinggal dan bermasyarakat. Oleh karena itu, agar peserta diklat dapat mengenal dengan baik dunianya dan dapat hidup wajar di masyarakatnya maka perlu dibekali keterampilan hidup (Life skills). Secara umum pendidikan kecakapan hidup  bertujuan mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi potensi peserta didik untuk menghadapi peranannya di masa depan (Depdiknas, 2001b). Kecakapan hidup meliputi: (a) kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill); (b) kecakapan sosial (social skill); (c) kecakapan akademik (academic skill), dan (d) kecakapan vokasional (vocational skill).  Secara khusus pendidikan kecakapan  hidup  bertujuan untuk (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan  problem yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkanpembelajaran yang fleksibel  sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas (broad-based education), dan (3) mengoptimalkan  pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah, dengan memberi  peluang  pemanfaatan sumber daya  yang ada di masyarakat, sesuai dengan  prinsip manajemen berbasis sekolah (school-based manajegement)


Pendekatan Berbasis Kompetensi (Competency-based Curriculum - CBC)
            Kompetensi (competency) mengandung makna, kemampuan seseorang yang disyaratkan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu pada dunia kerja, dan ada pengakuan resmi atas kemampuan tersebut (Depdiknas, 2001a). Kompetensi berarti spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta mengaplikannya di industri atau dalam pekerjaaan, atau tingkatan di industri untuk standar kinerja yang dibutuhkan pekerja (West Java Institutional Development Project,. 2001) 
             Dalam lingkup pendidikan menengah kejuruan pengertian CBC  tersebut lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut: (l) CBC diartikan sebagai rancangan kurikulum pendidikan dan pelatihan yang didasarkan atas kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang di tempat kerja., (2) CBC mengacu pada kompetensi yang berlaku di dunia kerja, (3) Substansi kompetensi memuat pernyataan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude), (4) Kurikulum yang dirancang dengan pendekatan CBC menggunakan sistem modular, yang dilaksanakan secara sekuensial dan sistemik. Yang disebut sistem modular adalah perancangan substansi pembelajaran berdasarkan satuan kompetensi secara utuh. Hal ini akan memudahkan perpindahan dari suatu satuan pemelajaran ke satuan pembelajaran yang lain berdasarkan ketuntasan belajar. Dalam pelaksanaannya, bahan ajar dapat disusun antara lain dalam bentuk modul, (5) Ada korelasi langsung antara penjenjangan jabatan di industri dengan tingkat pencapaian kompetensi di SMK, (6) Kurikulum berbasis kompetensi secara otomatis akan menerapkan pendekatan mastery learning atau pemelajaran tuntas.
            Diklat berbasis kompetensi (competency based training) adalah diklat yang menitik beratkan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan spesifik dan sikap sesuai dengan yang harus dilakukan dan diterapkan di dunia  kerja. Pengetahuan dan keterampilan tersebut  harus dapat didemonstrasikan dengan standar kompetensi yang berlaku.  Konsep CBC pada hakikatnya berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh seseorang (kompeten) sebagai hasil atau akibat (output) dari pembelajaran. Seseorang dikatakan kompeten apabila mampu melaksanakan tugas-tugas yang ada di dunia kerja, artinya harus mampu mentransfer ketrampilan dan pengetahuan pada kondisi dunia kerja, merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaan serta mengatasi permasalahan yang timbul dalam pekerjaan.
             Pendekatan pembelajaran konvensional yang telah diimplementasikan bertahun-tahun ternyata kurang mampu menjawab permasalahan  kebutuhan tenaga kerja. Tenaga kerja yang dihasilkan selama ini belum memiliki kompetensi yang memadai, sehingga banyak menciptakan pengangguran. Sementara di sisi lain banyak peluang kerja yang masih belum terisi. Hal itu menunjukkan rendahnya kualitas tenaga kerja yang dihasilkan melalui pendekatan pembelajaran konvensional.

Pendekatan Berbasis Luas dan Mendasar (Broad-based Curriculum)
           Kemajuan iptek yang demikian pesat mengakibatkan pengetahuan bagitu melimpah. Begitu banyaknya pengetahuan, sehingga beberapa ahli menyatakan orang tidak akan mampu mempelajari seluruh pengetahuan walaupun  itu dilakukan sepanjang hidupnya. Hal itu membawa konsekuensi  dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi dapat mengharapkan peserta didik  untuk mempelajari seluruh pengetahuan, keran itu harus dipilih bagian-bagian esensial dan menjadi pondasinya. Di samping general life skill, kiranya perlu dikembangkan pula kemampuan learning how to learn, dengan harapan  dapat digunakan  untuk belajar sendiri, jik seseorang ingin mengembangkn diri di meudian hari. Demikian pula learning how to unlearn , yaitu kemampuan untuk melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang secara tidak sadar dipelajari. Konsep pendidikan inilah yang menjadi titik tolak pendidikan berbasis luas (broad-based education) (Depdinas, 2001b)
            Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta diklat, untuk memahami dan menguasai konsep, prinsip dan keilmuan yang melandasi suatu bidang keahlian, sangat diperlukan dalam pendidikan dan pelatihan di SMK. Peserta diklat tidak hanya memahami dan menguasai “apa” (know what) dan “bagaimana” (know how) suatu pekerjaan dilakukan, tetapi harus sampai kepada pemahaman dan penguasaan tentang “mengapa” (know why) dilakukan. Dengan demikian, kurikulum tidak hanya dikembangkan untuk tujuan penguasaan suatu kompetensi dalam arti sempit, namun untuk penguasaan kompetensi dalam arti yang luas, termasuk kompetensi untuk beradaptasi atau mengalihkan/transfer kompetensi yang dimiliki ke dalam situasi yang baru. Kurikulum SMK merupakan kurikulum berbasis luas dan mendasar (broad-based curriculum). Basis luas dan mendasar tersebut ditanamkan terutama melalui kompetensi kelompok normatif dan adaptif.

PENDEKATAN PEMBELAJARAN SMK

         Guna mengimplementasikan kurikulum  SMK yang dirancang dengan berbagai pendekatan tersebut, maka proses pembelajaran pada SMK dirancang  dengan dua pendekatan yaitu pendekatan berbasis kompetensi (CBT) dan pendekatan berbasis produksi (PBT). Pendekatan  pembelajaran berbasis kompetensi, yakni pembelajaran yang ditekankan untuk membekali  kompetensi secara tuntas kepada peserta diklat,  yang mencakup aspek sikap, pengetahuan, keterampilan, dan tata nilai. Sementara pembelajaran berbasis produksi, yakni pembelajaran yang ditekankan pada pemerolehan hasil belajar berupa produk barang jadi atau jasa sesuai dengan standar dunia usaha dan dunia industri.  Pembelajaran dengan pendekatan produksi dengan sendirinya menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi. Sementara pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi, belum tentu menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis produksi.

Strategi Pembelajaran

          Berpijak pada pendekatan pembelajaran  pembelajaran pada SMK tersebut, maka dala kegiatan PBM dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Pembelajaran dengan pendekatan berbasis produksi dan kompetensi menuntut ketuntasan, untuk itu dikembangkan beberapa strategi belajar: (a) mastery learning (belajar tuntas, yakni peserta diklat diberikan waktu yang cukup untuk menguasai setiap kompetensi yang dipelajari); (b) learning by doing (belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan pengalaman belajar bermakna); (c) individualized learning (belajar dengan memperhatikan keunikan setiap individu); (d) group learning (belajar secara berkelompok); (e) belajar dengan sistem modular (menggunakan paket pembelajaran atau modul).
         Dalam penerapan strategi pembelajaran tersebut, perlu dipertimbangkan faktor-faktor pendukung yang mencakup sarana-prasarana, alat-bahan ajar, dan sumber daya manusia yang tersedia di sekolah dan lingkungan sekitar sekolah, dan dukungan manajemen sekolah yang baik dan kondusif. Oleh karena,  faktor-faktor tersebut menjadi pra-kondisi untuk dapatnya strategi-strategi pembelajaran di atas bisa diterapkan, dan mencapai hasil yang diharapkan.



DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2001a. Rencana Strategis Pendidikan Menengah
             Kejuruan  2001 – 2005. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001b. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life
            Skill   Education). Jakarta: Tim Broad Based Education.

Departemen Pendidikan Nasional 2004. Kurikulum SMK 2004. Bagian I.   Jakarta:
              Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

Departemen Pendidikan Nasional 2004. Kurikulum SMK 2004. Bagian II.   Jakarta:
              Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

Departemen Pendidikan Nasional 2004. Kurikulum SMK 2004. Bagian III.   Jakarta:
              Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

West Java Institutional Development Project. 2001. Indonesia Australia Partnership for 
             Skills Development Program. Malang: Competency Based Training June 2001.

0 komentar:

Popular Posts

Sample Text

Text Widget

CACAT

Matahari terbit.
Lalu terbenam di balik bukit.

Membuat hari begitu sempurna.


Bahagia terakui.
Lalu duka lara sakit hati.

Membuat cinta begitu sempurna.


Dilahirkan.
Kemudian dikebumikan.

Membuat manusia begitu sempurna.


Sempurna bukan selamanya terang.
Sempurna bukan selamanya bahagia.
Sempurna bukan selamanya hidup.

Justru sebuah "cacat", membuat sesuatu begitu sempurna.

Welcome To My Blog

Blog ini dibuat untuk mengumpulkan data-data tentang edukasi.

Recent Posts

Unordered List

Download

ChatBox

TRI SETYO. Diberdayakan oleh Blogger.