KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN
Dipersiapkan sebagai Bahan Ajar dalam Perkuliahan
:
Mahasiswa S1 Pendidikan Teknik Elektro
(PTE) dan S1 Pendidikan Teknik Informatika (PTI)
PEMBINA:
DRS. DWI PRIHANTO., S.S.T., M.Pd
PROGRAM S1 PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
JANUARI 2012
A. PENDAHULUAN
Salah
satu upaya untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan dan pengajaran itu ialah melalui peningkatan mutu pendidiknya. Hal ini terutama ditujukan
kepada penanggung jawab dunia pendidikan, khususnya yang mengurus tentang
pendidik dan tenaga kependidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan
berhasil tanpa melalui jalan dan upaya peningkatan mutu pendidiknya. Tanpa guru
yang dapat dijadikan andalannya, mustahil sesuatu sistem pendidikan berikut
acara kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Maka prasyarat
utama yang harus dipenuhi bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar yang
menjamin optimalisasi hasil pembelajaran secara kurikuler ialah tersedianya
guru dengan kualifikasi dan kompetensi yang mampu memenuhi tuntutan tugasnya
(Fuad Hassan, Kompas, 28 Feburari 2000).
Untuk dapat meningkatkan
profesionalisme guru dengan baik, para guru dan calon guru harus memiliki empat
standar kompetensi guru, yaitu: (1) kompetensi
pedagogis, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4)
kompetensi profesional.
Kompetensi pedagogis adalah kompetensi
yang terkait dengan penguasaan guru tentang teori belajar mengajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Kompetensi profesional adalah
kompetensi yang terkait dengan penguasaan disiplin ilmu atau mata pelajaran
yang akan diajarkan, termasuk di dalamnya penguasaan terhadap hal-hal yang
terkait dengan kurikulum. Mata kuliah Kurikulum dan Pengembangan Materi
Pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi salah satu bekal bagi para calon guru
agar memiliki kompetensi yang memadai, khususnya kompetensi pedagagogis dan
kompetensi profesional. Dengan demikian, guru yang dihasilkan dari lembaga
pengembangan tenaga kependidikan (LPTK) ini adalah guru yang profesional.
Di samping itu, para calon guru harus
memiliki pemahaman yang mendalam bahwa guru mempunya posisi sentral dalam
sistem pendidikan nasional. Ada tiga komponen utama dalam sistem pendidikan nasional,
yaitu: (1) peserta didik; (2) guru,
dan (3) kurikulum. Dalam proses belajar mengajar, ketiga komponen tersebut
mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Tanpa peserta didik, guru tidak akan
dapat melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa guru para siswa juga tidak akan
dapat secara optimal belajar. Tapa kurikulum, guru pun tidak akan mempunyai arah
dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik. Dengan
demikian, tanpa kehadiran salah satu komponen tersebut, proses interaksi
edukatif tidak akan terjadi.
Antara
kurikulum dengan pembelajaran ibarat dua sisi mata uang. Kurikulum adalah
konsepnya, pembelajaran merupakan pelaksanaannya. Mata kuliah Kurikulum dan
Pengembangan Materi Pembelajaran ini mencakup dua hal penting: (1) kurikulum,
dan (2) pengembangan materi pembelajaran dan penerapannya dalam proses belajar
mengajar di dalam kelas.
l Disamping
itu Calon pendidik harus didekatkan ke Empat standar kompetensi guru, yaitu:
(1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial,
dan (3) kompetensi profesional.
l Kompetensi
pedagogis adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan guru tentang teori
belajar mengajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
l
Kompetensi
profesional adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan disiplin ilmu atau
mata pelajaran yang akan diajarkan, termasuk penguasaan kurikulum.
l
Penguasaan
Kurikulum dan Penguasaan Materi Pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi bekal
bagi para calon guru agar memiliki kompetensi yg sesuai dengan tuntutan
kurikulum. Dengan harapan LPTK (PTI-TE-FT UM)
dapat menghsilkan guru yg profesional.
l Bahwa guru mempunyai posisi sentral dalam sistem
pendidikan nasional. Hal ini tersurat pada tiga komponen utama dalam sistem
pendidikan. nasional, yaitu: (1) peserta didik; (2) guru, dan (3) kurikulum.
l
Antara
kurikulum dengan pembelajaran ada 3 mata rantai yang tak terpisahkan. Kurikulum
adalah konsepnya, ilmu adl sajiannya, dan pembelajaran adl pelaksanaannya.
l Matakuliah Kurikulum Pendidikan Teknik mencakup tiga
hal penting: (1) mempelajari kurikulum,
(2) menguasai materi; (3)
penataan materi pembelajaran yang akan disajikan
B. KOMPETENSI
Setelah
mengikuti kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Kurikulum Pendidikan Teknik
dan Pengembangan Materi Pembelajaran, diharapkan mahasiswa dapat memiliki
kompetensi sebagai berikut:
1.
Memahami pengertian kurikulum;
2.
Memahami definisi kurikulum;
3.
Memahami komponen utama kurikulum;
4.
Memahami proses pengembangan
kurikulum;
5. Memahami
macam-macam kurikulum;
6. Memahami hubungan antara kurikulum, pengajaran, dan
tujuan pendidikan;
7. Memahami sejarah perkembangan kurikulum di
Indonesia;
8. Memahami Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
9. Memahami Modul Ajar
10.
Memahami
silabus
11.
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pendidikan dan Pembelajaran
”Kurikulum Pendidikan Teknik” ini adalah:
1. Menjelaskan pengertian etimologis kurikulum;
2. Menjelaskan tentang filosofi dan definisi kurikulum;
3.
Menjelaskan
beberapa macam kurikulum;
4. Menyebutkan
komponen utama kurikulum;
5. Menjelaskan hubungan antara kurikulum, pembelajaran,
dan tujuan pendidikan;
6. Menjelaskan
proses pengembangan kurikulum dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam
proses pengembangan kurikulum;
7. Menjelaskan perkembangan kurikulum di Indonesia
8. Menyebutkan dua dokumen KTSP;
9. Menjelaskan KTSP;
10. Menjelaskan modul ajar;
10. Menjelaskan modul ajar;
11.Menyusun Modul
Ajar
12.
Menjelaskan
silabus;
13.
Menyusun
silabus;
14.
Menjelaskan
RPP;
15.
Menyusun RPP.
D. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Mata kuliah ini
disampaikan kepada mahasiswa dalam 16 kali tatap
muka dengan kegiatan pembelajaran sebagai
berikut:
1.
Penjelasan Umum :
Pembina matakuliah memberikan penjelasan umum tentang kurikulum Pendidikan
Teknik dan Pengembangan Materi
Pembelajaran
Tabel 1. Rincian Materi Penjelasan
Umum Pembelajaran
No.
|
Topik/Materi pembelajaran
|
1
|
Informasi Mata Kuliah
|
2
|
Pengertian Etimologis Kurikulum
|
3
|
Filosofi dan Definisi Kurikulum
|
4
|
Komponen Kurikulum
|
5
|
Hubungan Kurikulum,
Pembelajaran, dan Tujuan Pendidikan
|
6
|
Macam-macam Kurikulum
|
7
|
Proses Pengembangan Kurikulum
|
8
|
UTS (Ujian Tengah Semester)
|
9
|
Perkembangan
Kurikulum Di Indonesia
|
10
|
KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen I
|
11
|
KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen II
|
12
|
Modul Ajar
|
13
|
Praktik
Menyusun Modul Ajar
|
12
|
Silabus
|
13
|
Praktik Penyusunan Silabus
|
14
|
RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran)
|
15
|
Praktik Penyusunan RPP
|
16
|
UAS khususnya bagi Mhs yang
tidak memenuhi target belajar
|
2. Presentasi dan diskusi dari peserta
kuliah
Mahasiswa mengerjakan tugas secara kelompok, dipresentasikan di depan
kelas, dan didiskusikan dengan teman sekelas.
Adapun tugas-tugas yang akan dipresentasikan diambil dari uraian materi
KTSP dengan pendistribusian sebagai berikut:
3.
Studi Lapangan
Mahasiswa
melaksanakan kunjungan ke SMK/SMU secara berkelompok, untuk meninjau pelaksanaan kurikulum di sekolah dan
mengerjakan tugas membuat: (1) Modul Ajar; (2) Silabus; dan (3) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
E. Uraian Materi Pembelajaran
1: Informasi Mata Kuliah
Dalam pertemuan
ini mahasiswa akan menerima fotokopi hand
out silabus mata kuliah atau modul ini sekaligus, agar secara dini
mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang akan dipelajari selama satu semester.
Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh bahan lain untuk lebih
memperkaya pengetahuan dan pemahamannya terhadap materi kuliah ini. Beberapa
butir kontrak perkuliahan antara lain dapat disepakati sebagai berikut:
a)
Setiap mahasiswa wajib
memiliki referensi utama dan referensi lain yang relevan, melalui
membeli di toko buku, pinjam di perpustakaan atau download ke internet.
b)
Pada waktu mahasiswa mengikuti kegiatan
presentasi, wajib membuat/mengumpulkan
ringkasan materi yang dipresentasikan dengan tulisan tangan (maksimum 3
lembar folio);
c)
Pada waktu mahasiswa mendapat tugas
presentasi di depan kelas (secara kelompok) wajib mengumpulkan print out &
soft copy dari materi yang dipresentasikan. (1 Kelompok = 4 orang)
d)
Tugas mandiri ada tiga macam, yaitu: (a)
menyusun bahan ajar (Modul); (b) menyusun Silabus suatu mata diklat berdasarkan
KTSP SMK/SMU, (c) menyusun Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari suatu mata diklat. Dicover sesuai
kesepakatan bersama.
e)
Setiap tugas harus diserahkan kepada
dosen sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama.
f)
Semua tugas Mahasiswa dimasukkan ke
dalam snelhecter map, & pada akhir semester (sth dinilai) tugas dapat
diambil kembali.
g)
Bagi Mahasiswa yang belum mencapai
kriteria ketuntasan minimum (KKM) harus melengkapi materi yang masih kurang dan
mendapat sanksi mengikuti UAS dan atau pengurangan nilai.
h)
Mencari & melaporkan tempat PKL ( 1
Kelompok PKL = 20 Orang)
i)
Mempersiapkan Buku konsultasi penyusunan
tugas butir d.
j)
Persentase KHD tidak boleh kurang dari
80 %.
2: Pengertian Etimologis Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata
dalam Bahasa Latim ”curir” yang artinya pelari, dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari”, yang mengandung pengertian
suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish. Dengan demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal
dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke
dalam dunia pendidikan.
Pengertian
tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai
rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari
peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
In The Curriculum, the first textbook published on the subject, in
1918, John Franklin Bobbitt said that curriculim,
as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the
curriculum as the course of deeds and experiences through which children become
the adults they
should be, for success in adult society.
Furthermore, the curriculum encompasses the entire scope of formative deed and
experience occurring in and out of school, and not experiences occurring in school; experiences
that are unplanned and undirected, and experiences intentionally directed for
the purposeful formation of adult members of society (www.wikipedia.com).
Secara bebas,
kutipan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Di dalam The Curriculum, buku teks pertama yang diterbitkan tentang mata
kuliah itu pada tahun 1918, John Franklin Bobbit mengatakan bahwa kurikulum,
sebagai satu gagasan, memiliki akar kata Bahasa Latin “race course” (tempat berlari), yang menjelaskan bahwa kurikulum
sebagai mata pelajaran dan pengalaman yang harus diperoleh anak-anak sampai
menjadi dewasa, agar kelak sukses setelah menjadi dewasa. Lebih dari itu,
kurikulum merupakan keseluruhan kegiatan dan pengalaman yang diperoleh di dalam
dan di luar sekolah, pengalaman yang direncanakan dan yang tidak direncanakan,
serta pengalaman yang secara sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan
pembentukan warga masyarakat orang dewasa.
In formal
education or schooling (cf. education), a curriculum
is the set of courses, course work, and content offered at a school or university. A
curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative
body (i.e. the National
Curriculum for England in English schools).
In the U.S., each state, with the individual school districts, establishes the
curricula taught. Each state, however, builds its curriculum with great
participation of national academic subject groups selected by the United States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for
mathematical instruction. In Australia each
state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International Bureau of Education
has the primary mission of studying curricula and their implementation
worldwide.
Curriculum means two things: (i) the range of
courses from which students choose what subject matters to study, and (ii) a
specific learning program. In the latter case, the curriculum collectively describes
the teaching, learning, and assessment materials available for a given course
of study.
Secara terminologis, istilah kurikulum yang
digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian sebagai sejumlah
pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa
untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai
tanda atau bukti bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar
kompetensi tersebut adalah dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan
kepada peserta didik,
Pengertian
kurikulum mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan masyarakat dan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed, guru besar
Universitas Pendidikan Indonesia telah mencoba untuk merumuskan perkembangan pengertian kurikulum tersebut dengan
menggunakan formula-formula sebagai berikut:
a)
K =
-------------, artinya kurikulum adalah jarak
yang harus ditempuh oleh pelari.
b)
K = Σ MP, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
peserta didik.
c)
K = Σ MP + KK, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan sekolah yang harus
ditempuh oleh peserta didik.
d)
K = Σ MP + K + SS + TP, artinya kurikulum adalah
sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan dan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi
peserta didik sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau sekolah.
Dari ke empat
formula definisi kurikulum tersebut, dapat diambil dua butir kesimpulan bahwa
(1) definisi kurikulum berasal dari dunia olah raga, dan kemudian digunakan
dalam dunia pendidikan; (2) definisi
kurikulum senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, mulai dari
definisi yang amat sederhana menjadi definisi yang sangat kompleks. Untuk
memahami makna definisi kurikulum biasanya perlu dilakukan analisis makna unsur-unsur
definisi kurikulum, sehingga dapat diketahui formula yang membentuk
definisi kurikulum tersebut.
3 : Filosofi dan Definisi Kurikulum
Dewasa ini
terdapat banyak sekali definisi kurikulum, yang kalau dipelajari secara
mendalam ternyata dipengaruhi oleh filosofi atau aliran
filsafat tertentu. Pertama, pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”subject matter” atau mata pelajaran, ”content” atau isi, dan ”transfer of culture” atau alih
kebudayaan (Said Hamid Hasan, dari Tanner dan Tanner, 1980: 104). Kedua, pakar
kurikulum yang menganut aliran
essesialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”academic exellence” atau keunggulan akademis dan ”cultivation of intellect” atau
pengolahan intelek.
Persamaan kedua
aliran tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas.
Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi
intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan
matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis yang
lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan
bahasa-bahasa modern.
Kedua aliran
tersebut termasuk kelompok aliran konservatif.
Di samping itu ada kelompok aliran progresif, yang lebih memandang kurikulum
--- bukan hanya untuk meneruskan tradisi intelektualitas masa lalu --- tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perubahan
masa sekarang dan masa depan, Termasuk kelompok aliran progresif adalah aliran romantis
naturalisme, eksistensialisme, eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme.
Menurut aliran
rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi untuk melestarikan budaya
atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan
dikembangkan di masa depan. Menurut McNeil (1977: 19), kurikulum berfungsi untuk
membentuk masa depan atau "shaping the future", bukan
hanya "adjusting, mending or
reconstructing the existing conditions of the life of community".
McNeil menjelaskan bahwa:
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Beberapa definisi
kurikulum dapat disebutkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4:
Beberapa Definisi Kurikulum
No.
|
Pakar
|
Definisi
|
1
|
John Franklin Bobbit, 1918
|
|
2
|
Hilda
Taba (1962)
|
Curriculum is
a plan for learning.
|
3
|
Caswell
and Campbell (1935)
|
Curriculum is
all of the experiences children have under the guidance of teachers.
|
4
|
Edward
A. Krug (1957)
|
A curriculum
consists of the means used to achieve or carry out given purposes of
schooling.
|
5
|
Beauchamp
(1972)
|
A curriculum
is a written document which may contain many ingredients, but basically it a
plan for the education of pupil during their enrollment in given school.
|
5
|
Saylor
dan Alexander
|
“The total
effort of school to going desired outcomes in school and out school
situations”.
|
6
|
Hilda
Taba
|
Curriculum is
a plan for learning.
|
7
|
Johnson
|
A structural
series of intended kearning outcomes.
|
8
|
J.F.
Kerr (1972)
|
All the
learning which is planned or guided by school, whether it is carried on in
groups or individually, inside of or outside the school.
|
9
|
Caswell
and Campbell
|
Curriculum is
all of the experiences children have under the guidance of teacher
|
10
|
Oliva
(2004)
|
Curriculum is
a plan or program for all experiences when the learner encounters under the
direction of the school.
|
11
|
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 1 ayat 19)
|
Kurikulum adalah "seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
|
Sumber: Dari berbagai
sumber.
Daftar definisi kurikulum
tersebut dapat diperpanjang. Definisi tersebut tampak sangat bervariasi. Dari
definisi yang sangat pendek seperti yang dikemukakan oleh Hilda Taba, atau pun
Johnson, sampai dengan definisi yang panjang dari Beauchamp. Bahkan, George Beauchamp (1972) sendiri mencoba mengelompokkan definisi
kurikulum dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mendefinisikan bahwa
kurikulum adalah a plan for subsequent
action. Kedua, adalah kelompok yang menyatakan bahwa kurikulum tidak lain
adalah pengajara dan pembelajaran (curriculum
and instruction as synonums or a unified concept). Ketiga, kelompok yang
mendefiniskan sebagai istilah yang sangat luas, yang meliputi proses
psikologikan peserta didik sebagai pengalaman belajar (a very broad term, encompassing the learner's psychological process as
she or he acquires educational experiences).
Pada pertemuan sebelumnya
telah dipelajari bahwa untuk memahami kurikulum kita dapat membedah definisi
kurikulum ke dalam unsur-unsur kurikulum. Dengan mengetahui unsur-unsur
kurikulum, kita akan jauh lebih mudah untuk mengetahui komponen-komponen
kurikulum.
Perbedaan ruang lingkup
kurikulum juga dapat menggambarkan berbagai perbedaan dalam definisi kurikulum.
Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang
mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana
bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor,
Alexander,dan Lewis, 1981).
Ada yang mengatakan bahwa
kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai
dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga
pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20
tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).
Dari definisi kurikulum
sebagaimana telah dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa kurikulum itu
terdiri dari beberapa komponen utama:
a) Isi dan bahan pelajaran;
b) Cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran;
c) Tujuan pendidikan yang
akan dicapai
Subandiyah dalam bukunya
menyebutkan komponen utama kurikulum adalah:
a) Tujuan pendidikan;
b) Isi/materi;
c) Organisasi/strategi;
d) Media;
e) Proses belajar mengajar;
Sedang komponen
penunjangnya adalah:
a) Sistem administrasi dan
supervise;
b) Bimbingan dan penyuluhan;
c) Sistem evaluasi
5 : Hubungan Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan Pendidikan
Oliva (1997:12) menyatakan
secara tegas bahwa "Curriculum
itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea
or set of ideas". Dengan kata lain, salah satu pengertian yang melekat
pada kurikulum adalah kurikulum sebagai verbalisasi dari ide atau gagasan yang
teramat kompleks yang ingin dicapai oleh dunia pendidikan. Definisi lain
menyatakan kurikulum sebagai satu dokumen tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa sesungguhnya gagasan tersebut memerlukan penerapan atau pelaksanaan dalam
bentuk proses pengajaran dan pembelajaran. Kurikulum sebagai dokumen dan
sebagai konsep tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak dilaksanakan oleh
pendidik dalam proses pengajaran dan pembelajaran di dalam atau di luar kelas.
Bahkan, dalam proses pelaksanaan atau penerapan kurikulum itu sendiri juga
menjadi salah satu materi tersendiri dalam kurikulum itu, yang kita kenal
sebagai kurikulum tersembunyi. Dalam kenyataan di lapangan apa yang dilakukan
oleh guru di dalam dan di luar sekolah akan menjadi pengalaman belajar yang
sangat mempengaruhi peserta didik. Dan oleh karena itulah maka pengalaman
belajar yang diperoleh siswa di sekolah dalam proses pelaksanaan kurikulum ideal
disebut sebagai kurikulum yang sebenarnya (real
curriculum) atau kurikulum faktual (factual
curriculum).
Jika dokumen kurikulum
yang dikembangkan disebut sebagai ideal curriculum, dan proses pengajaran dan pembelajaran di
dalam dan di luar kelas sebagai factual curriculum, maka kedua-duanya tidak
dapat dilepaskan dari upaya untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Dalam kurikulum ideal terdapat komponen tujuan pendidikan yang akan
dicapai. Demikian juga dalam pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran terkandung
tujuan instruksional yang tidak lain adalah tujuan pendidikan dalam level di
dalam kelas. Walhasil, baik kurikulum dalam bentuk dokumen atau ideal maupun
kurikulum faktual berupa proses pengajaran semuanya memiliki orientasi tunggal,
yakni tujuan pendidikan.
6 : Macam-macam Kurikulum
Kita mengenal
berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek:
Ditinjau dari konsep dan
pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:
a) Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal,
sesuatu yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen
kurikulum
b) Kurikulum aktual atau faktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan
dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh
berbeda dengan harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati
dengan kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang
tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah
direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang pengajaran
merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar
mengajar.
c) Kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan
kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu yang terjadi di dalam
kelas, seperti kebiasaan guru, kehadiran guru, kepala sekolah, tenaga
administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu sendiri dan sebagainya akan
dapat menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh terhadap pelaksanaan
kurikulum ideal di sekolah. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar
di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan
berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.
Berdasarkan struktur dan
materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan:
a)
Kurikulum terpisah-pisah (separated
curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan
secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah
dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. Kurikulum sebelum tahun 1968 di
Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpisah-pisah.
b)
Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan
secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa
mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam
proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas
rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan
beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. Kurikulum 1968
di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpadu.
c)
Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang
bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang
lain.
Berdasarkan
proses pengembangannya dan ruang lingkup penggunaannya, kurikulum dapat
dibedakan menjadi:
a)
Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim
pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
b)
Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang
disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara
bagian di Amerika Serikat, dan digunakan oleh masing-masing negara bagian itu.
c)
Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan
pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan
kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan
diferensiasi dalam kurikulum.
7 : Proses Pengembangan Kurikulum
Proses
pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying
desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and
meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to
serve.
Unruh dan Unruh (1984)
Kurikulum memang harus
dibuat. Disusun dengan proses tertentu. Negara yang memiliki UU tentang Sistem
Pendidikan Nasional mempunyai kepentingan untuk menyusun kurikulum tersebut
berdasarkan amanat yang ada di dalam undang-undang tersebut.
Untuk menyusun kurikulum
nasional, sudah barang tentu ada lembaga tertentu yang telah diberikan tugas
dan tanggung jawab untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum yang akan
digunakan secara nasional. Di Indonesia, lembaga itu dikenal
sebagai Pusat Kurikulum, yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan Nasional (Balitbang Diknas). Di negara lain tentu saja ada lembaga
seperti itu. Ada beberapa pemangku kepentingan yang menurut David G. Amstrong
biasanya dilibatkan dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
a)
Curriculum
specialist (spesialis kurikulum, ahli kurikulum);
b)
Teacher/instructors
(guru/instruktur);
c)
Learners
(peserta didik);
d) Principals/corporate unit supervisors (kepala sekolah/unit
pengawas sekolah);
e) Central office administrators/corporeate administrators (administrator kantor
pusat/administrator perusahaan;
f) Special experts (ahli special);
g) Lay public representatives (perwakilan masyarakat umum).
Yang dimaksud pengembangan
kurikulum adalah proses perencanaan dan penyusunan kurikulum oleh pengembang
kurikulum (curriculum developer) dan
kegiatan yang dilakukan agar kurikulum
yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Unruh dan Unruh (1984:97)
mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing
needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to
achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that
the curriculum is to serve.
Berbagai faktor seperti
politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses
pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui
bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut
mengatakan curriculum is a product of its time. curriculum responds to and
is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles,
accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum fokus awal
memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum
dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai berikut:
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
1. Konfigurasi Proses Pengembangan Kurikulum (Model 1)
(Sumber:
Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA)
Dalam proses pengembangan
tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan
berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum
menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya
tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87)
bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the
curriculum is external insofar as the social order in general establishes the
milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us
carries around in our mind's eye models of how the schools should function and
what the curriculum should be. The external environment is full of disparate
but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal
environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views
of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural
mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly
changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Gambar 2. Konfigurasi Proses
Pengembangan Kurikulum (Model 2)
Sumber: Prof.Dr.H.Said
Hamid Hasan, MA
8 : Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Secara umum,
perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun
sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan
dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Kurikulum yang pernah diberlakukan secara nasional di Indonesia dapat
dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 5 : Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
No.
|
Kurikulum
|
Keterangan
|
1
|
Rencana
Pelajaran 1947
|
·
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan, Mr. Suwandi, membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran.
·
Merupakan kurikulum pertama di
Indonesia. Rencana Pelajaran yang disusun harus memperhatikan; (1) mengurangi
pendidikan pikiran, (2) menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan
sehari-hari, (3) memberikan perhatian kepada kesenian, (4) meningkatkan
pendidikan watak, (5) meningkatkan pendidikan jasmani, dan (6) meningkatkan
kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
·
Istilah kurikulum belum digunakan.
Istilah yang digunakan adalah Rencana Pelajaran. Unsur pokok kurikulum
adalah: (1) daftar jam pelajaran atau struktur program, (2) garis-garis besar
program pengajaran.
·
Struktur program dibagi menjadi:
(1) struktur program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Daerah, (2)
struktur program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia.
·
Merupakan kurikulum dengan mata
pelajaran terpisah-pisah (separated
curriculum).
|
2
|
Rencana Pelajaran 1950
|
·
Lahir karena tunturan UU Nomor 4 Tahun
1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
·
Kurikulum ini masih relatif sama
dengan Rencana Pelajaran 1947
·
Istilah kurikulum masih belum
digunakan. Istilah yang dipakai adalah Rencana Pelajaran.
·
Kurikulum ini merupakan kurikulum
masih dengan mata pelajaran terpisah-pisah (separated curriculum).
|
3
|
Rencana Pelajaran 1958
|
·
Merupakan penyempurnaan dari Rencana
Pelajaran 1950.
·
Digunakan sampai dengan tahun 1964
|
4
|
Rencana Pelajaran 1964
|
·
Merupakan penyempurnaan dari Rencana
Pelajaran 1958
·
Digunakan sampai dengan tahun 1968.
·
Terdapat pembagian kelompok cipta,
rasa, karsa, dan krida.
|
5
|
Kurikulum 1968
|
·
Kurikulum ini merupakan kurikulum
terpadu pertama di Indonesia. Beberapa mata pelajaran Ilmu Hayat, Ilmu Alam,
dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPA) atau yang
sekarang sering disebut Sains.
·
Struktur program dibagi menjadi (1)
pembinaan jiwa Pancasila, (2) pengetahuan dasar, dan (3) kecakapan khusus.
·
Struktur program untuk Sekolah Dasar,
program pembinaan jiwa Pancasila meliputi mata pelajaran (1) Pendidikan
Agama, (2) Pendidikan Kewargaan Negara, (3) Pendidikan Bahasa Indonesia, (4)
Bahasa Daerah, dan (5) Pendidikan Olahraga.
·
Untuk program pengetahuan dasar
meliputi mata pelajaran (1) Berhitung,
(2) IPA, (3) Pendidikan Kesenian, dan (4) Pendidikan Kesejahteraan Keluarga.
·
Untuk program kecakapan khusus
meliputi mata pelajaran Pendidikan Khusus.
·
Untuk pertama kalinya istilah
kurikulum dipakai di Indonesia.
|
6
|
Kurikulum 1975
|
·
Lahir sebagai tuntutan Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN 1973, dengan tujuan pendidikan ”membentuk
manusia Indonesia untuk pembangunan nasional di berbagai bidang.
·
Struktur program untuk SD meliputi
bidang studi (1) Agama, (2) Pendidikan Moral Pancasila, (3) Bahasa Indonesia,
(4) Ilmu Pengetahuan Sosial, (5) Matematika, (6) Ilmu Pengetahuan Alam, (7)
Olahraga dan Kesehatan, (8) Kesenian, dan (9) Keterampilan Khusus.
·
Untuk SMP ditambah dengan bidang studi
Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Keterampilan, baik yang pilihan
terikat atau pilihan bebas.
·
Untuk SMA sudah barang tentu ada
bidang studi berdasarkan jurusan, baik IPA dan IPS.
·
Untuk SMK dikenal dengan Kurikulum
1976.
·
GBPP untuk kurikulum 1975 dikenal
dengan format yang sangat rinci.
|
7
|
Kurikulum 1984
|
·
Kurikulum ini merupakan penyempurnaan
dari kurikulum 1975. Oleh karena itu Kurikulum 1984 dikenal juga sebagai
Kurikulum 1975 Yang Disempurnakan.
·
Kurikulum 1984 berlaku berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tanggal 22
Oktober 1983 tentang Perbaikan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah di
Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
·
Ada empat aspek yang disempurnakan
dalam Kurikulum 1984, yakni: (1) pelaksanaan PSPB, (2) penyesuaian tujuan dan
struktur program kurikulum, (3) pemilihan kemampuan dasar serta keterpaduan
dan keserasian antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, (4)
pelaksanaan pelajaran berdasarkan kerundatan belajar yang disesuaikan dengan
kecepatan belajar masing-masing peserta didik.
|
8
|
Kurikulum 1994
|
·
Kurikulum 1994 merupakan pelaksanaan
amanat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
·
Kurikulum 1994 dilaksanakan
berdasarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25
Februari 1993.
·
Kurikulum 1994 berisi 3 lampiran: (1)
Landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum, (2) GBPP, dan (3) Pedoman
Pelakskanaan Kurikulum.
|
9
|
Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK)
|
·
Kurikulum ini belum diterapkan di
seluruh sekolah di Indonesia.
·
Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas
bersama dengan Direktorat Teknis telah melakukan uji coba dalam rangka proses
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi ini.
·
Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005,
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mempunyai kewenangan untuk
mengembangkan standar nasional pendidikan, termasuk standar kurikulum yang
digunakan di sekolah-sekolah.
|
10
|
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
|
·
KBK sering disebut sebagai jiwa
KTSP, karena KTSP sesungguhnya telah mengadopsi KBK.
·
Kurikukulum ini dikembangkan oleh
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
·
Kurikulum ini disusun oleh satuan
pendidikan sekolah/madrasah bersama dengan semua pemangku kepentingan di
sekolah.
|
Sumber: Lima Puluh Tahun Pendidikan Indonesia.
9. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen I
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah disusun
oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada standar isi (SI) dan
standar kelulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19
Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah
menyebutkan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa:
a.
Sekolah/Madrasah
menyusun KTSP.
b.
Penyusunan KTSP
memperhatikan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, dan peraturan
pelaksanaannya.
c.
KTSP dikembangkan sesuai
dengan kondisi sekolah/madrasah, potensi atau karakteristik daerah, sosial
budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
d.
Kepala Sekolah/Madrasah
bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
e.
Wakil Kepala SMP/MTs dan
wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum bertanggungjawab atas pelaksanaan
penyusunan KTSP.
f.
Setiap guru
bertanggungjawab menyusun silabus setiap mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan
Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan Panduan Penyusunan KTSP.
g.
Dalam penyusunan
silabus, guru dapat bekerjasama dengan Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), atau
Perguruan Tinggi.
h.
Penyusunan KTSP tingkat
SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota sedangkan SDLB, SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Dinas Pendidikan
Provinsi yang bertanggungjawab di bidang pendidikan. Khusus untuk penyusunan
KTSP Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan untuk SDLB,
SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama.
i. Penyusunan KTSP tingkat MI dan MTs dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan MA dan MAK
oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.
9.1 Apa yang
dimaksud kurikulum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional? Apa yang dimaksud KTSP ?
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan
potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum
disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan
dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Sedang kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh
masing-masing satuan pendidikan.
9.2 Bagaimana Konsep Dasar KTSP?
Konsep
dasar KTSP meliputi 3 (tiga) aspek yang saling terkait, yaitu (a) kegiatan
pembelajaran, (b) penilaian, dan (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Kegiatan
pembelajaran dalam KTSP mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Berpusat pada peserta
didik
b. Mengembangkan kreativitas
c. Menciptakan kondisi yang
menyenangkan dan menantang
d. Kontekstual
e. Menyediakan pengalaman
belajar yang beragam
f. Belajar melalui
berbuat
9.3.
Penilaian dalam KTSP mempunyai karakteristik
a.
Dilakukan oleh guru untuk mengetahui tingkat penguasaan
kompetensi yang ditetapkan, bersifat internal, bagian dari pembelajaran, dan
sebagai bahan untuk peningkatan mutu hasil belajar;
b.
Berorientasi pada kompetensi,
mengacu pada patokan, ketuntasan belajar, dilakukan melalui berbagai cara,
yaitu (a) portfolios (kumpulan kerja
siswa), (b) products (hasil karya),
(c) projects (penugasan), (d) performances (unjuk kerja), dan (e) paper & pen test (tes tulis).
9.4 Pengelolaan kurikulum berbasis
sekolah
Pengelolaan
kurikulum berbasis sekolah mempunyai prinsip-prinsip:
a.
Mengacu pada Visi dan Misi Sekolah
b.
Pengembangan perangkat kurikulum (a.l. silabus)
c.
Pemberdayaan tenaga kependidikan dan
sumber daya lainnya untuk meningkatkan mutu hasil belajar
d. Pemantauan dan
9.5 Apa Landasan KTSP ?
1.
UU Nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
2.
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan
3.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
4.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan
5.
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 dan Nomor 6 Tahun 2007
tentang pelaksanaan Permendiknas Nomor
22 dan 23/2006
6.
Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan
9.6
Bagaimana Prinsip Pengembangan KTSP?
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) mengacu kepada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian
tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, disebutkan sistem pendidikan nasional memiliki 8 (delapan)
standar, yang meliputi (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar
kompetensi lulusan, (4) standar tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan
prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Dua dari
kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan
dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum untuk satuan pendidikannya.
9.7 Prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(a) Berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya.
Kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral
untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi
peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral
berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
(b) Beragam dan Terpadu
Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik,
kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak
diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status
sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib
kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
(c)
Tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum
memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
(d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan
akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
(e)
Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi
kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran
yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang
pendidikan.
(f)
Belajar sepanjang hayat
Kurikulum
diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan
antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan
lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
(g)
Seimbang antara kepentingan Nasional dan
kepentingan Daerah
Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah
untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
9.8 Acuan Operasional Penyusunan KTSP
a) Peningkatan iman dan takwa
serta akhlak mulia
b) Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan
peserta didik
c) Keragaman
potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
d) Tuntutan pembangunan
daerah dan nasional
e) Tuntutan dunia kerja
f)
Perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni
g) Agama
h) Dinamika perkembangan
global
i)
Persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan
j) Kondisi sosial budaya
masyarakat setempat
k) Kesetaraan gender
l) Karakteristik satuan
pendidikan
9.9
Dokumen I : KTSP
Dokumen I KTSP
terdiri atas 4 bab, meliputi:
1.
Bab I Pendahuluan, meliputi subbab (A) Latar Belakang,
(B) Tujuan, dan (C) Prinsip Pengembangan KTSP.
2.
Bab II Tujuan Pendidikan, meliputi subbab (A) Visi, (B)
Misi, (C) Tujuan Sekolah.
3.
Bab III Struktur dan Muatan Kurikulum, meliputi (A) mata
pelajaran, (B) muatan lokal, (C) kegiatan pengembangan diri, (D) pengaturan
beban belajar, (E) ketuntasan belajar, (F) kenaikan kelas dan kelulusan, (G)
pendidikan kecakapan hidup, dan (H) pendidikan berbasis keunggulan lokal dan
global.
Mata pelajaran
muatan nasional, alokasi jam pelajaran, dan pengelompokan mata pelajaran serta
aturan pengelolaan jam pelajaran mengacu
pada Bab II Standar Isi. Muatan Lokal merupakan mata pelajaran yang
dikembangkan untuk mengakomodasi kepentingan daerah atau satuan pendidikan.
Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang akan dicapai
dilakukan oleh satuan pendididkan dan/atau Dinas Pendidikan yang terkait.
Kegiatan
pengembangan diri merupakan kegiatan yang mewadahi bakat dan minat peserta
didik. Tujuan kegiatan pengembangan diri
adalah mengembangkan potensi
peserta didik, terutama pada perubahan perilaku sesuai dengan target yang
dicanangkan oleh satuan pendidikan.
Pengaturan beban
belajar mengacu pada bab III Standar Isi. Beban belajar dalam bentuk tatap muka
dirancang bersama oleh satuan pendidikan. Rancangan beban belajar dalam bentuk
penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dirancang oleh
guru mata pelajaran.
Ketuntasan
belajar adalah target minimal yang akan dicapai oleh satuan pendidikan.
Kriteria Ketuntasan minimal (KKM) merupakan hasil analisis atas kompleksitas,
daya dukung, dan intake siswa terhadap kompetensi dasar, standar kompetensi,
dan mata pelajaran yang dibelajarkan. Agar hasil belajar peserta didik dapat
mencapai, bahkan melebihi KKM, satuan
pendidikan merancang program remedial dan pengayaan.
Kriteria
kenaikan kelas dan kelulusan dikembangkan oleh satuan pendidikan. Acuan minimal
kriteria kenaikan kelas adalah Peraturan Dirjen tentang Laporan Hasil Belajar
dan POS UN tahun sebelumnya.
Pendidikan
kecakapan hidup adalah pendidikan kecakapan yang diperlukan agar seseorang mampu dan berani menghadapi problema kehidupan dan
memecahkannya secara arif dan kreatif. Kecakapan hidup yang perlu dikembangkan
adalah kecakapan personal, sosial, dan akademik. Kecakapan vokasional
terakomodasi dalam mata pelajaran muatan lokal.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dikembangkan dengan
memanfaatkan keunggulan lokal dan meningkatkan daya saing global. Keunggulan
lokal dapat dikembangkan dalam muatan lokal, pengembangan diri, maupun
terintegrasi dalam mata pelajaran.
4. Bab IV Kalender pendidikan berisi rancangan kalender sekolah yang
mengacu pada kalender dinas pendidikan terkait dan pedoman penyusunan kalender
yang terdapat dalam bab IV standar isi.
10 : KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) Dokumen II
KTSP terdiri
atas dua dokumen, yaitu (1) dokumen I yang berisi tentang (a) landasan, (b)
program, dan (c) pengembangan kurikulum. Dokumen I (pertama) disusun oleh tim
handal yang dibentuk oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan tersebut adalah (1) kepala sekolah, (2) guru, (3) tenaga
administrasi, (4) pengawas sekolah, dan (5) komite sekolah dan orangtua siswa,
serta (6) dinas pendidikan.
Dokumen II
(kedua) merupakan penjabaran secara operasional dari dokumen pertama, terdiri
atas (a) silabus dan (b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Dokumen Dokumen
II disusun oleh guru kelas dan guru mata pelajaran, atau kelompok kerja guru
kelas atau guru mata pelajaran dalam kegiatan organisasi profesi seperti
Kelompok Kerja Guru (untuk guru sekolah dasar), Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP), atau bahkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
11: Silabus
11.1 Apakah itu silabus?
Silabus adalah
rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu
yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian,
penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar
Silabus menjawab
tiga pertanyaan dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu apa kompetensi yang
harus dikuasai siswa, bagaimana cara mencapainya, dan bagaimana cara mengetahui
pencapaiannya.
Bagaimana
prinsip pengembangan Silabus?
Prinsip
pengembangan silabus dilaksanakan secara:
a) Ilmiah, artinya
materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat
dipertanggung-jawabkan secara keilmuan.
b) Relevan, arttinya
cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urytan penyajian materi dalam silabus
sesuai dengan tingkat perkembangan emosional, intelektual dan spiritual.
c) Sistematis, artinya
komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai
kompetensi.
d) Konsisten, artinya
adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi
pokok pembelajaran, sumber belajar, dan sistem penilaian.
e) Memadai, artinya
cakupan indikator, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber
belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi
dasar.
f) Aktual
& konstektual, artinya cakupan
indikator, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar,
dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni
mutakhir dalam kehidupan nyata.
g) Fleksibel, artinya
keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, serta
dinamika perubahan yang terjadi di sekolah, dan tuntutan masyarakat,
h) Menyeluruh.
Artinya komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif,
afektif, dan psikomotor)
Siapa yang menyusun silabus?
Silabus disusun
oleh guru yang mengajarkan mata pelajaran. Proses penyusunan silabus dapat saja
disusun bersama oleh satu tim guru mata pelajaran, dalam satu kegiatan guru,
misalnya dalam kegiatan MGMP.
11.4 Apa
landasan penyusunan silabus?
Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 17 Ayat (2),
Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka
dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas
kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA,
dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama
untuk MI. MTs, MA, dan MAK.
11.5 Bagaimana
pertimbangan unit waktu dalam penyusunan silabus?
Penyusunan
silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester, per tahun,
dan alokasi waktu mata diklat lain yang sekelompok.
11.6 Apa saja
komponen di dalam silabus?
Komponen di dalam silabus meliputi: (a)
standar kompetensi; (b) kom petensi dasar; (c) materi pokok/pembelajaran; (d)
kegiatan pembelajaran; (e) indikator; (f) penilaian; (g) alokasi waktu; (h)
sumber belajar.
12. Praktik Penyusunan Silabus
Contoh format silabus dapat dijelaskan sebagai
berikut:
FORMAT SILABUS
Nama
Sekolah
|
:
|
|
Mata
Pelajaran
|
:
|
|
Standar
Kompetensi
|
:
|
Kompetensi Dasar
|
Materi Pembelajaran
|
Kegiatan Pembelajaran
|
Indikator
|
Penilaian
|
Alokasi Waktu
|
Sumber Belajar
|
||
Teknik
|
Instrumen
|
Contoh
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
Indentitas:
Nama Sekolah: diisi dengan nama
sekolah, seperti SMP Negeri 1 Malang
Mata Pelajaran: diisi dengan mata
pelajaran yang diajarkan, sepert Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dsb.
Standar Kompetensi: diisi dengan
standar kompetensi yang diambil dari standar isi yang terdapat dalam
Permendiknas Nomor 22 sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan.
Kolom-kolom format silabus:
1.
Kompetensi Dasar: diisi dengan kompetensi
dasar yang dikutip dari standar isi;
2.
Materi Pembelajaran: diisi dengan materi
pembelajaran yang dijabarkan dari kompetensi dasar tersebut;
3.
Kegiatan Pembelajaran: diisi dengan
kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan agar proses pembelajaran tersebut
dapat mencapai kompetensi dasar yang diharapkan;
4.
Indikator: diisi dengan indikator yang
dapat digunakan untuk mengukur apakah kompetensi dasar telah dapat dicapai atau
belum;
5.
Teknik Penilaian: diisi dengan teknik
penilaian yang digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar
berdasarkan indikator, misalnya tes tertulis, tes lisan, dsb;
6.
Instrumen Penilaian: diisi dengan bentuk
instrumen yang digunakan;
7.
Alokasi Waktu: diisi dengan berapa kali
pertemuan X menit yang diperlukan;
8.
Sumber Belajar: diisi sumber belajar
yang digunakan dalam proses pembelajaran, seperti buku apa, media belajar,
sumber belajar dari alam, dsb.
Contoh Silabus
SILABUS
Nama
Sekolah
|
:
|
SMP Negeri
1 .......
|
Mata
Pelajaran
|
:
|
Bahasa
Inggris
|
Standar
Kompetensi
|
:
|
Menggunakan
makna dalam percakapan transksional dan interpersonal lisan pendek
sederhanauntuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
|
Kompetensi
|
Materi
Pembelajaran
|
Kegiatan
|
Indikator
|
Penilaian
|
Alokasi
|
Sumber
|
||
Pembelajaran
|
Teknik
|
Instrumen
|
Contoh
|
Waktu
|
Belajar
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
Mengungkan
makna dalam percakapakan transaksional (to get things done) dan intepersonal
(bersosialisasi) sederhana dengan menggunakan ragam bahasa lisan secara
akurat, lancar, dan bertetima untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar
yang melibatkan tindak tutur meminta, memberi, menolak barang, mengakui,
mengingatkan fakta, menerima, dan memberi pendapat.
|
Percakapan
singkat memuat ungkapan-ungkapan sebagai contoh:
A: Let me
help you
B: Thank
you so much
A: Can I
have a bit
B: Sure.
Here you are
A: Did you
break the glass?
B: Yes I
did/ No, It wasn’t me
A: What do
you think of this?
B: Not
bed.
|
1. Review
kosakata dan ungkapan terkait materi dan tema
2. Tanya
jawab menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut
3. Bermain
peran melakukan percakapan yang disediakan guru
4. Bermain
peran melakukan percakapan berdasarlan situasi atau gambar
5. Menggunakan
ungkapan yang telah dipelajari dalam real
life situation.
|
1. Bertanya
dan menjawab tentang meminta, memberi, menolak rasa
2. Bertanya
dan menjawab tentang meminta, memberi, menolak barang
3. Bertanya
dan menjawab tentang mengakui, mengingkari fakta
4. Bertanya
dan memberi pendapat
|
Tes lisan
|
Bermain peran
|
Create a
dialogue based on the role cards and perform it in front of the class
|
2 X 40’
|
1.
Buku teks yang relevan
2.
Gambar-gamar yang terkait tema
3.
Realita benda sekitar
|
13 : RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran)
Setiap kali
guru akan mengajar, ia harus menyusun sebuah rencana yang kini dikenal dengan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana ini akan menggambarkan
prosedur dan langkah-langkah pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu
kompetensi dasar berdasarkan standar isi dan telah ditetapkan dalam silabus.
Mengapa harus membuat rencana? Apakah rencana itu harus dibuat oleh guru
yang belum berpengalaman saja? Apakah guru yang sudah senior atau sudah
berpengalaman masih perlu membuat rencana mengajar? Bukankah guru senior atau
yang sudah berpengalaman telah menguasai semua materi pelajaran yang akan
diajarkan kepada siswanya? Apakah RPP yang telah dibuat masih dapat digunakan
dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan? Apakah secara administratif
penyusunan RPP tidak justru memberatkan tugas-tugas guru di lapangan, yang
kemudian justru akan mengganggu proses pembelajarannya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul dalam acara diskusi dengan
para guru pada saat membahas tentang rencana mengajar. Pertanyaan tersebut
dapat dijawab sebagai berikut. Pertama,
setiap guru akan melaksanakan pembelajaran, ia harus menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), baik untuk guru senior atau terlebih-lebih
untuk guru yunior. Kedua, penyusunan RPP sama sekali tidak untuk memberatkan pekerjaan
guru, justru untuk memudahkan guru dalam pelaksanaan tugas profesionalnya.
Penyusunan RPP merupakan salah satu unsur dari standar kompetensi professional
bagi para guru. Ketiga, sudah barang
tentu, RPP yang lama dapat saja digunakan lagi dalam proses pembelajaran pada
tahun berikutnya, sepanjang RPP tersebut masih relevan dengan kompetensi siswa
yang akan dicapai. Oleh karena itu, RPP yang pernah dibuat harus dikaji ulang
untuk terus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan baru dalam dunia
pendidikan.
Ruang lingkup RPP mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas 1
(satu) atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali pertemuan atau lebih. Perencanaan merupakan langkah yang sangat penting sebelum pelaksanaan
kegiatan. Kegiatan belajar mengajar
(KBM) membutuhkan perencanaan yang matang agar proses belajar mengajar dapat
berjalan secara efektif. Perencanaan tersebut dituangkan ke dalam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau beberapa istilah lain yang digunakan,
seperti rencana mengajar atau lesson plan,
desain pembelajaran, skenario pembelajaran, yang memuat seluruh kompetensi
dasar yang dijabarkan dari standar kompetensi, materi pelajaran, dan indikator
yang akan dicapai, langkah pembelajaran, waktu, media dan sumber belajar serta
penilaian untuk setiap kompetensi dasar.
Rencana
pelaksanaan pembelajaran harus dibuat agar kegiatan pembelajaran berjalan
sistematis dan mencapai tujuan pembelajaran, tanpa rencana pelaksanaan
pembelajaran kegiatan pembelajaran di kelas biasanya tidak terarah. Oleh karena
itu peserta harus mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran berdasarkan
silabus yang disusunnya. Rencana pelaksanaan pembelajaran harus mencerminkan
pendekatan PAKEM dalam pembelajaran.
Dengan
demikian, jika silabus merupakan program pembelajaran dalam jangka satu
semester atau satu tahun pelajaran, maka RPP merupakan pencabaran dari silabus
sebagai program pembelajaran untuk hari ke hari pembelajaran di sekolah, dalam
satu atau beberapa kali pertemuan pembelajaran.
14 : Praktik Penyusunan RPP
Pada umumnya
format RPP adalah sebagai berikut:
|
Untuk praktik
penyusunan RPP, cobalah mengikuti cara pengisian format RPP sebagai berikut:
1.
Untuk mengisi identitas RPP, mulai dari mata pelajaran
sampai dengan kompetensi dasar, isilah dengan mengacu pada standar isi mata
pelajaran yang akan diajarkan. Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 harus
dijadikan acuannya.
2.
Untuk indikator, tujuan pembelajaran, dan seterusnya
tentu saja harus dikembangkan dari standar isi tersebut. Masing-masing gurulah
yang harus mengembangkannya.
a. Indikator adalah patokan dasar atau
tanda-tanda utama yang akan dijaikan
bukti bahwa peserta didik telah mencapai kompetensi dasar yang telah
ditetapkan.
b. Tujuan
pembelajaran adalah tujuan instruksional yang akan dicapai melalui kegiatan
belajar dalam satu pertemuan tertentu.
c. Metode mengajar
diharapkan metode yang menggunakan pendekatan PAKEM untuk Sekolah Dasar, dan
pendekatan Contextual Teaching dan Learning (CTL) untuk SMP dan SMA.
d. Langkah pembelajaran meiputi: (1) kegiatan
awal, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan penutup.
15 Referensi
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. 1994. Kurikulum Untuk Abad Ke-21. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
McNeil, John. 1985. Curriculum,
A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Oemar Hamalik. 1995. Kurikulum
dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Rochman Natawidjaja (Ed). 1979. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Alat Peraga, dan Komunikasi
Pendidikan. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparlan. 2004. Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Ke Implentasi. Yogyakarta: Hikayat
Publishing.
Suparlan. 2005. Menjadi
Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
16.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
LAMPIRAN: 1
KURIKULUM
DAN TUJUAN PENDIDIKAN
Prof.Dr.H.Said
Hamid Hasan, MA
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.
Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.
Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.
Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para ahli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.
PENGERTIAN KURIKULUM
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
- filosofi kurikulum
- ruang lingkup komponen kurikulum
- polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
- posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian
kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai
"subject matter", "content" atau bahkan "transfer of
culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of
culture" adalah dalam pengertian kelompok ahli yang memiliki pandangan
filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat
ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal
intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113)
keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk
mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner
(1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi
"cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan
essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan
"academic excellence dan cultivation of intellect". Perbedaan antara
keduanya adalah menurut pandangan perenialism "the cultivation of the
intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that
constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah konten
kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading,
rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa
kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental
academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern
languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)
Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".
Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:
Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".
Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:
Education and curriculum have
borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example,
children following the pattern of their parents, IQ as discovering and
quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist
curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing
- knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best
contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning
process.
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi
suatu focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa
yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan
peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa
dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan
apa yang dialami oleh orang tua mereka.
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)
Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)
Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed
to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the
existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for
fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed
for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum
hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama
sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan
masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
POSISI
KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan
takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah
dan lingkungan;
e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan
global; dan
j. persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan
berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan
pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi,
budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum
haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan
ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada
setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar
seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat
perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya
seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang
universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal
seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi
dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the curriculum is
external insofar as the social order in general establishes the milieu within
which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around
in our mind's eye models of how the schools should function and what the
curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt
conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is
a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our
educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural
mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly
changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Darling-Hammond, L. (1996). The
right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and
practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.
Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and
London: Teachers College, Columbia University
Eggleston, J.T. (1977). The
Sociology of the School Curriculum. London: Routledge & Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language,
culture, and education. Review of Research in Education, 19:51-98.
Hasan, S.H. (1996). Local Content
Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization.
Unpublished.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural
Issues and Human Resources Development. Paper presented at International
Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the
Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.
Jacobs, M. (1999). Curriculum,
dalam Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh
Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further Education.
Klein, M.F. (1986). Curriculum
Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and
London: Teachers College, Columbia University
Marsh,C.C. (1997). Planning,
Management and Ideology: Key Concepts or Undertanding Curriculum. London:
The Falmer Press
McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A
Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on
Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.
Olivia, P.F. (1997).. 4th Developing
the Curriculum edition. New York: Longman
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St.
Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum:
Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan
Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York:
Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum
Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California:
McCutchan Publishing Corporation
LAMPIRAN: 2. Artikel Pendidikan
MEMBERANTAS KORUPSI MELALUI
KURIKULUM
Oleh
icwweb
Minggu,
17 September 2006 12:28:40
Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik
untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Murid atau mahasiswa
yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang sejak dini harus
diajar dan dididik untuk membenci serta menjauhi praktek korupsi. Bahkan lebih dari
itu, diharapkan dapat turut aktif memeranginya.
Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda Aceh.
Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.
Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.
Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.
Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah. Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.
Selain itu, kurikulum tidak akan ada artinya tanpa guru. Sudah tentu, agar bisa diimplementasikan, terlebih dulu mereka yang akan mengajarkan pelajaran antikorupsi mesti mengetahui dan memahami apa yang akan diajarkan. Untuk itu, setidaknya dibutuhkan pendidikan atau pelatihan. Belajar dari penerapan kurikulum berbasis kompetensi, hanya untuk sosialisasi, waktu dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.
Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai tersebut.
Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek (psikomotor), akan menemukan kesulitan dalam proses evaluasi. Alat atau instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan murid dalam menerapkan nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan berbeda dari tes pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.
Selain itu, proses pengajaran antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional: guru memberi ceramah di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang kelas harus dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti menjadi model bagi murid.
Namun sayang, kenyataannya tidak demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu tempat tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar belakang penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut menjadi pelaku.
Institusi pendidikan malah mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis, setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat oleh murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam keseharian guru atau kepala sekolah.
Karena itu, kurikulum antikorupsi tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan seperti sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi. Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.
Berharap banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah.
Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.
Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2006
Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda Aceh.
Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.
Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.
Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.
Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah. Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.
Selain itu, kurikulum tidak akan ada artinya tanpa guru. Sudah tentu, agar bisa diimplementasikan, terlebih dulu mereka yang akan mengajarkan pelajaran antikorupsi mesti mengetahui dan memahami apa yang akan diajarkan. Untuk itu, setidaknya dibutuhkan pendidikan atau pelatihan. Belajar dari penerapan kurikulum berbasis kompetensi, hanya untuk sosialisasi, waktu dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.
Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai tersebut.
Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek (psikomotor), akan menemukan kesulitan dalam proses evaluasi. Alat atau instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan murid dalam menerapkan nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan berbeda dari tes pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.
Selain itu, proses pengajaran antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional: guru memberi ceramah di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang kelas harus dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti menjadi model bagi murid.
Namun sayang, kenyataannya tidak demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu tempat tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar belakang penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut menjadi pelaku.
Institusi pendidikan malah mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis, setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat oleh murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam keseharian guru atau kepala sekolah.
Karena itu, kurikulum antikorupsi tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan seperti sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi. Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.
Berharap banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di sekolah.
Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.
Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2006
Lampiran 3
APA YANG DIPELAJARI ANAK DI SEKOLAH?
Oleh Anis Suryani -
Artikel, 1- Desember 2004
Cica mencuci cangkir dan piring
“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.
Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca . Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan seperti berikut:
Wajib Belajar
“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.
Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca . Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan seperti berikut:
Wajib Belajar
Desa kelahiran orang tua Indri
tergolong tandus. Penduduk hanya panen setahun sekali. Itu pun kalau ada air
hujan. Hasil pertanian penduduk umumnya singkong dan ubi jalar. Keadaan seperti
itu bukan menandakan penduduknya miskin. Justru penduduknya tergolong makmur.
Banyak hal yang dapat mereka kerjakan. Kaum ibu membentuk Home Industry atau
Industri Rumah Tangga Jika kita masuk ke toko suvenir, hampir semua suvenir di
sana adalah karya ibu-ibu. Begitu pula kalau kita berbelanja kue-kue
tradisional. Semua itu hasil dari desa kelahiran ibunya Indri. Bagaimana dengan
aktivitas bapak-bapak dan para remaja? Di sana tidak kita jumpai penduduk yang
duduk di pojok gang atau di warung kopi. Konon sebagian besar remaja bekerja di
kota lain. Mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah dan
menyekolahkan adik-adik mereka. Jika ada anak usia sekolah berkeliaran pada
waktu tersebut, setiap orang wajib menegur. Jika ternyata orang tua atau
kakaknya yang menyuruh, pasti mendapat sanksi.
Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks, diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur, bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks seperti tersebut di atas.
Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah…?” , tentulah timbul pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?
Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks, alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.
Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel, membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas tiga.
Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah tersebut.
Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal 134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.
Anak-anak mulai mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).
Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.
Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep “bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya. “Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku pelajaran.
Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.
Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).
Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum, 1997). Ini menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.
Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.
Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan sebagai “a plan for learning”, sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.
Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah. Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat, baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak.
Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.
Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama, kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang bersifat dinamis belum terbentuk.
Pustaka
Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks, diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur, bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks seperti tersebut di atas.
Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah…?” , tentulah timbul pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?
Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks, alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.
Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel, membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas tiga.
Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah tersebut.
Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal 134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.
Anak-anak mulai mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).
Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.
Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep “bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya. “Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku pelajaran.
Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.
Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).
Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum, 1997). Ini menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.
Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.
Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan sebagai “a plan for learning”, sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.
Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah. Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat, baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak.
Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.
Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama, kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang bersifat dinamis belum terbentuk.
Pustaka
Arsyar, Mohammad (1989). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengembangan
LPTK Ditjen PT Departemen P&K.
Kompas (2003). Kemahiran
Baca di Indonesia Menyedihkan. (2 Juli 2003)
Mulder, Niels (2001). Indonesian
Images. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, S (1986). Asas-asas
Kurikulum. Bandung: Jemmars
Hilum, Rium (1997). Pengaruh
Kemampuan Memecahkan Masalah-masalah cerita dalam aljabar terhadap prestasi
siswa. Skripsi S1 FMIPA IKIP Yogyakarta.
Supriadi, Dedi (2001). Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta:
Adicita
Shaver, James P ed. (1991). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New
York: National Council for the Social Studies.
Lampiran 4.
BERBAGAI PENDEKATAN
DALAM KURIKULUM SMK
Penyunting: Dwi Prihanto
Memasuki abad 21 ini,
keadaan SDM Indonesia sangat tidak
kompetitif. Menurut catatan Human
Development Index kualitas SDM Indonesia berada di urutan 122, jauh berada
dibawah, Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), Brunei Darussalam (31),
Korea Selatan (30) dan Singapura (28). Demikian pula berbagai indikator
menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Dari
dalam negeri diketahui bahwa NEM SD sampai SLTA relatif rendah dan tidak
mengalami peningkatan yang berarti. Dari dunia usaha juga muncul keluhan
bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan yang
baik. Ketidak puasan berjenjang juga
terjadi, kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk
memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa bekal lulusan SLTP tidak siap mengikuti
pembelajaran di SLTA, dan kalangan
perguruan tinggi merasa bekal lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti
perkuliahan.
Sampai dengan berakhirnya abad
ke-20 pembangunan sumberdaya manusia di hampir seluruh wilayah Indonesia,
ternyata belum mengarah kepada kondisi yang diharapkan. Hal ini ditandai
dengan; (1) struktur tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja yang
kurang terdidik, sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan
ekonomi; (2) penyiapan tenaga kerja
tingkat menengah terkesan hanya dilakukan oleh SMK, sementara sebagian besar
tamatan SMU dan yang sederajat banyak tidak melanjutkan pendidikan dan masuk ke
pasar kerja; (3) tingkat pengangguran tamatan sekolah menengah menunjukkan angka 12% untuk
tamatan SMK, ditambah lagi dengan tingkat pengangguran tamatan SMU sebanyak 18%
(Depdikkinas, 2001); (4) penguasaan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja
Indonesia masih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja negara-negara lainnya
di kawasan Asia Tenggara. Semua ini menyebabkan tenaga kerja Indonesia sulit
bersaing, bahkan tidak sedikit peluang pekerjaan yang ada di Indonesia di isi
oleh pekerja asing.
Kondisi yang demikian tentu merupakan akibat langsung tidak
sistematisnya pelaksanan pendidikan
Indonesia, sehingga belum mampu
meningkatkan kualitas SDM. Berbagai
usaha telah dilakukan Depdiknas untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional,
baik melalui pengembangan kurikulum,
penyediaan sarana prasana, peningkatan kualitas SDM, peningkatan
manajemen pendidikan dan peningkatan kualitas pembelajaran.
Seperti halnya program-program
lain yang dihasilkan oleh proyek,
masalah keberlanjutan masih saja menjadi
isu yang sukar dihindari. Perbaikan yang dihasilkan umumnya bersifat sementara,
tidak berlanjut menjadi kebiasaan baru
yang menyegarkan. Demikian pula halnya
dengan pendidikan di SMK, walaupun konsep-konsep pendidikan /pembelajaran yang
inovatif dan ideal telah dicoba diterapkan,
namun dalam banyak hal mutu pendidikan SMK masih jauh dari harapan.
PERKEMBANGAN FAKTOR EKSTERNAL
Pengembangan sistem pendidikan dan
pelatihan kejuruan sebagai pranata utama peningkatan SDM berkualitas menjadi
sangat penting, karena berbagai pengaruh factor eksternal. Pada dasarnya ada
dua jenis factor ekternal yang mempengaruhi pendidikkan kejuruan adalah
berkaitan dengan dua hal yang harus berjalan seiring dan saling melengkapi,
yaitu kebijakan tentang otonomi daerah dan tuntutan dan permasalah global.
Kedua factor tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem penataan lembaga
pendidikan kejuruan, dan factor tersebut harus dijadikan pijakan dasar dalam
pengembangan pendidikan SMK.
Kebijakan Tentang Otonomi Daerah.
Pengembangan
sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan sebagai pranata utama peningkatan SDM
berkualitas menjadi sangat penting, karena berbagai pengaruh factor eksternal.
Pada dasarnya ada dua jenis factor ekternal yang mempengaruhi pendidikkan
kejuruan adalah berkaitan dengan dua hal yang harus berjalan seiring dan saling
melengkapi, yaitu kebijakan tentang otonomi daerah dan tuntutan dan permasalah
global. Kedua factor tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem penataan
lembaga pendidikan kejuruan, dan factor tersebut harus dijadikan pijakan dasar
dalam pengembangan pendidikan SMK.
Tuntutan dan Permasalahan Era
Global.
Persaingan global antara negara di dunia khususnya dibidang
industrialisasi dan teknologi informasi menjadi semakin ketat dan tajam, akan membawa perubahan yang sangat cepat
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini di satu sisi membuka
peluang mempercepat laju pembangunan, tetapi di sisi lain membawa tantangan
terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Lahirnya "Multinational Company" juga
menjadikan persaingan bisnis berskala regional, international, maupun global
semakin meningkat. Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik, suatu kawasan yang
telah melahirkan beberapa negara industri baru. Di satu sisi Indonesia dapat
menarik keuntungan dari kemajuan industri di kawasan ini, tetapi di lain sisi
dapat tergilas menjadi korban kemajuan negara tetangga. Jika tidak
mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh untuk menghadapi persaingan yang
semakin ketat dan tajam.
Untuk mengantisipasi tuntutan dan
permasalahan tersebut di atas, maka upaya-upaya pembangunan harus memberi
prioritas pada upaya peningkatan kualitas SDM. Diperlukan
kemauan yang keras untuk mengubah pola pikir dalam mengembangkan sistem
pendidikan dan pelatihan kejuruan melalui reposisi (penataan ulang) agar dapat
mengejar ketertinggalan dalam penyiapan SDM berkualitas. Mengingat hal tersebut, maka mulai tahun
ajaran 2005/2006 ini, untuk meningkatkan kualitas pendidikan di SMK diterapkan
berbagai pendekatan dalam kurikulum SMK 2004 (Depdiknas, 2004). .
PENDEKATAN
KURIKULUM SMK
SMK
sebagai salah satu institusi yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu
menghasilkan tamatan sebagaimana yang diharapkan dunia kerja. SMK memiliki peran untuk menyiapkan peserta
diklat agar siap bekerja, baik bekerja secara mandiri maupun mengisi lowongan
pekerjaan yang ada. Oleh karena itu, arah pengembangan SMK diorientasikan pada
pemenuhan permintaan pasar kerja. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
berdampak pada perubahan tuntutan dunia kerja terhadap sumber daya manusia yang
dibutuhkan. Dunia kerja membutuhkan tersedianya sumber daya manusia yang
berkualitas yaitu yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya,
memiliki daya adaptasi dan daya saing yang tinggi.
Atas dasar itu, pengembangan
kurikulum dalam rangka penyempurnaan pendidikan menengah kejuruan harus
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja. Oleh karena itu Kurikulum
SMK Edisi 2004 dirancang, dengan menggunakan berbagai pendekatan yaitu (l) Pendekatan Akademik, (2) Pendekatan
Kecakapan Hidup/Life skills (LS), (3) Pendekatan Kompetensi/Competency-based (CBC), (4) Pendekatan Luas dan Mendasar/Broad-based (BBC). Dengan
pendekatan-pendekatan tersebut,
diharapkan kurikulum yang diterapkan di SMK mampu menghasilkan lulusan yang
sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Kurikulum adalah sebuah perangkat
pendidikan, dengan demikian secara sadar harus dirancang sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Kaidah-kaidah akademik yang harus diikuti
dalam penyusunan kurikulum antara lain adalah sebagai berikut: (l) Kurikulum
berisikan rancangan pendidikan dan pelatihan secara menyeluruh. (2) Kurikulum
harus mengandung komponen tujuan, isi atau materi dan evaluasi yang dirancang
sedemikian rupa menjadi satu kesatuan yang utuh, (3) Tujuan kurikulum secara
jelas menunjukan tujuan pendidikan (instructional
effect), tujuan sampingan (non-instructional effect) dan
memperhitungkan dampak pengiring (nurturant effect) bagi peserta didik.
Pendekatan
Kecakapan Hidup (Life skills)
Isu yang mengemuka dewasa ini yakni adanya kesenjangan antara sekolah
dengan kehidupan nyata di masyarakat. Apa yang dipelajari di sekolah, merupakan
hal lain yang terjadi di masyarakat, sehingga disinyalir sekolah semakin
menjauhkan peserta diklat dengan dunia nyatanya dimana ia tinggal dan
bermasyarakat. Oleh karena itu, agar peserta diklat dapat mengenal dengan baik
dunianya dan dapat hidup wajar di masyarakatnya maka perlu dibekali
keterampilan hidup (Life skills). Secara umum pendidikan kecakapan
hidup bertujuan mengembalikan pendidikan
pada fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi potensi peserta didik untuk
menghadapi peranannya di masa depan (Depdiknas, 2001b). Kecakapan hidup
meliputi: (a) kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan
berpikir rasional (thinking skill); (b) kecakapan sosial (social
skill); (c) kecakapan akademik (academic skill), dan (d) kecakapan
vokasional (vocational skill).
Secara khusus pendidikan kecakapan
hidup bertujuan untuk (1)
mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk
memecahkan problem yang dihadapi, (2)
memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkanpembelajaran yang
fleksibel sesuai dengan prinsip
pendidikan berbasis luas (broad-based education), dan (3) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah,
dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (school-based manajegement)
Pendekatan Berbasis Kompetensi (Competency-based
Curriculum - CBC)
Kompetensi (competency) mengandung makna, kemampuan seseorang yang disyaratkan
untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu pada dunia kerja, dan ada pengakuan resmi atas kemampuan tersebut
(Depdiknas, 2001a). Kompetensi berarti spesifikasi dari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta mengaplikannya di
industri atau dalam pekerjaaan, atau tingkatan di industri untuk standar kinerja
yang dibutuhkan pekerja (West Java
Institutional Development Project,. 2001)
Dalam lingkup pendidikan menengah
kejuruan pengertian CBC tersebut lebih
lanjut dapat diuraikan sebagai berikut: (l) CBC diartikan sebagai rancangan
kurikulum pendidikan dan pelatihan yang didasarkan atas kegiatan atau pekerjaan
yang dilakukan oleh seseorang di tempat kerja., (2) CBC mengacu pada kompetensi
yang berlaku di dunia kerja, (3) Substansi
kompetensi memuat pernyataan pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skill) dan sikap (attitude), (4) Kurikulum yang dirancang dengan pendekatan
CBC menggunakan sistem modular, yang dilaksanakan secara sekuensial dan
sistemik. Yang disebut sistem modular
adalah perancangan substansi pembelajaran berdasarkan satuan kompetensi
secara utuh. Hal ini akan memudahkan perpindahan dari suatu satuan pemelajaran
ke satuan pembelajaran yang lain berdasarkan ketuntasan belajar. Dalam
pelaksanaannya, bahan ajar dapat disusun antara lain dalam bentuk modul, (5) Ada korelasi
langsung antara penjenjangan jabatan di industri dengan tingkat pencapaian kompetensi di SMK, (6) Kurikulum
berbasis kompetensi secara otomatis akan menerapkan pendekatan mastery learning
atau pemelajaran tuntas.
Diklat berbasis kompetensi (competency based training) adalah diklat yang menitik beratkan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan spesifik dan sikap sesuai dengan yang
harus dilakukan dan diterapkan di dunia
kerja. Pengetahuan dan keterampilan tersebut harus dapat didemonstrasikan dengan standar
kompetensi yang berlaku. Konsep CBC pada
hakikatnya berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh seseorang (kompeten)
sebagai hasil atau akibat (output) dari pembelajaran. Seseorang dikatakan
kompeten apabila mampu melaksanakan tugas-tugas yang ada di dunia kerja,
artinya harus mampu mentransfer ketrampilan dan pengetahuan pada kondisi dunia
kerja, merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaan serta mengatasi
permasalahan yang timbul dalam pekerjaan.
Pendekatan pembelajaran
konvensional yang telah diimplementasikan bertahun-tahun ternyata kurang mampu
menjawab permasalahan kebutuhan tenaga
kerja. Tenaga kerja yang dihasilkan selama ini belum memiliki kompetensi yang
memadai, sehingga banyak menciptakan pengangguran. Sementara di sisi lain
banyak peluang kerja yang masih belum terisi. Hal itu menunjukkan rendahnya
kualitas tenaga kerja yang dihasilkan melalui pendekatan pembelajaran
konvensional.
Pendekatan
Berbasis Luas dan Mendasar (Broad-based Curriculum)
Kemajuan iptek yang demikian pesat
mengakibatkan pengetahuan bagitu melimpah. Begitu banyaknya pengetahuan,
sehingga beberapa ahli menyatakan orang tidak akan mampu mempelajari seluruh
pengetahuan walaupun itu dilakukan
sepanjang hidupnya. Hal itu membawa konsekuensi
dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak lagi dapat mengharapkan
peserta didik untuk mempelajari seluruh
pengetahuan, keran itu harus dipilih bagian-bagian esensial dan menjadi
pondasinya. Di samping general life skill,
kiranya perlu dikembangkan pula kemampuan learning
how to learn, dengan harapan dapat
digunakan untuk belajar sendiri, jik
seseorang ingin mengembangkn diri di meudian hari. Demikian pula learning how to unlearn , yaitu
kemampuan untuk melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang secara
tidak sadar dipelajari. Konsep pendidikan inilah yang menjadi titik tolak
pendidikan berbasis luas (broad-based
education) (Depdinas, 2001b)
Pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada peserta diklat, untuk memahami dan menguasai konsep, prinsip
dan keilmuan yang melandasi suatu bidang keahlian, sangat diperlukan dalam
pendidikan dan pelatihan di SMK. Peserta diklat tidak hanya memahami dan
menguasai “apa” (know what) dan “bagaimana” (know how) suatu
pekerjaan dilakukan, tetapi harus sampai kepada pemahaman dan penguasaan
tentang “mengapa” (know why) dilakukan.
Dengan demikian, kurikulum tidak hanya dikembangkan untuk tujuan penguasaan
suatu kompetensi dalam arti sempit, namun untuk penguasaan kompetensi dalam
arti yang luas, termasuk kompetensi untuk beradaptasi atau mengalihkan/transfer
kompetensi yang dimiliki ke dalam situasi yang baru. Kurikulum SMK merupakan
kurikulum berbasis luas dan mendasar (broad-based
curriculum). Basis luas dan mendasar tersebut ditanamkan terutama melalui
kompetensi kelompok normatif dan adaptif.
PENDEKATAN PEMBELAJARAN SMK
Guna mengimplementasikan
kurikulum SMK yang dirancang dengan
berbagai pendekatan tersebut, maka proses pembelajaran pada SMK dirancang dengan dua pendekatan yaitu pendekatan berbasis
kompetensi (CBT) dan pendekatan berbasis produksi (PBT). Pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi, yakni
pembelajaran yang ditekankan untuk membekali
kompetensi secara tuntas kepada peserta diklat, yang mencakup aspek sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan tata nilai. Sementara pembelajaran berbasis produksi, yakni
pembelajaran yang ditekankan pada pemerolehan hasil belajar berupa produk
barang jadi atau jasa sesuai dengan standar dunia usaha dan dunia
industri. Pembelajaran dengan pendekatan
produksi dengan sendirinya menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis
kompetensi. Sementara pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi, belum tentu
menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis produksi.
Strategi Pembelajaran
Berpijak pada pendekatan
pembelajaran pembelajaran pada SMK
tersebut, maka dala kegiatan PBM dilakukan dengan menggunakan beberapa
strategi. Pembelajaran dengan pendekatan berbasis produksi dan kompetensi
menuntut ketuntasan, untuk itu dikembangkan beberapa strategi belajar: (a) mastery
learning (belajar tuntas, yakni peserta diklat diberikan waktu yang cukup
untuk menguasai setiap kompetensi yang dipelajari); (b) learning by doing
(belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan pengalaman belajar
bermakna); (c) individualized learning (belajar dengan memperhatikan
keunikan setiap individu); (d) group
learning (belajar secara berkelompok); (e) belajar dengan sistem modular
(menggunakan paket pembelajaran atau modul).
Dalam penerapan strategi pembelajaran
tersebut, perlu dipertimbangkan faktor-faktor pendukung yang mencakup
sarana-prasarana, alat-bahan ajar, dan sumber daya manusia yang tersedia di
sekolah dan lingkungan sekitar sekolah, dan dukungan manajemen sekolah yang
baik dan kondusif. Oleh karena, faktor-faktor
tersebut menjadi pra-kondisi untuk dapatnya strategi-strategi pembelajaran di
atas bisa diterapkan, dan mencapai hasil yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan
Nasional. 2001a. Rencana Strategis
Pendidikan Menengah
Kejuruan 2001 – 2005. Jakarta: Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan.
Departemen Pendidikan
Nasional. 2001b. Konsep Pendidikan
Kecakapan Hidup (Life
Skill Education). Jakarta: Tim Broad Based
Education.
Departemen
Pendidikan Nasional 2004. Kurikulum SMK
2004. Bagian I. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan
Departemen
Pendidikan Nasional 2004. Kurikulum SMK
2004. Bagian II. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan
Departemen
Pendidikan Nasional 2004. Kurikulum SMK
2004. Bagian III. Jakarta:
Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan
West Java Institutional
Development Project. 2001. Indonesia
Australia Partnership for
Skills
Development Program. Malang: Competency Based Training June 2001.
0 komentar:
Posting Komentar